Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Aleta Baun, Penyelamat Kawasan Gunung Mutis

Aleta Baun tokoh dari NTT yang jadi Penyelamat Kawasan Gunung Mutis

Bisnis.com, JAKARTA - Air adalah darah, hutan adalah rambut, tanah adalah daging, batu adalah tulang. Inilah Perumpamaan itu menunjukkan sebegitu dekat masyarakat Mollo, Nusa Tenggara Timur, dengan alam mereka. Maka ketika sumber penghidupan mereka diganggu, tak heran jika muncul perlawanan dari masyarakat.

Kawasan Gunung Mutis merupakan gunung tertinggi di bagian barat Pulau Timor. Di Kawasan ini pula menjadi daerah tangkapan air yang memenuhi kebutuhan air sebagian besar masyarakat Timor. Masyarakat Mollo kerap melepas dan menggembalakan ternak mereka. Ada yang membuka lading dan berkebun. Kawasan Gunung Mutis menjadi alam semesta yang sempurna. Namun, kesempurnaan alam semesta hanya bertahan hingga 1995, ketika dua perusahaan tambang marmer mulai masuk ke kawasan ini.

Sejak itu pula masyarakat tak bisa melakukan aktivitas seperti sebelumnya. Tak boleh berladang, berkebun, juga melepas ternak. Kawasan dipagar, situs ritual adat dirusak. Dinamit membelah Gunung Batu keramat Anjaf dan Nausus, yang merupakan bagian Gunung Mutis.

Aleta Baun, perempuan adat Mollo dan ibu tiga orang anak, tak bisa tinggal diam. Dia memimpin perjuangan menolak tambang. Berbagai cara dilakukan, mulai dari menghidupkan ritual-ritual adat, berdoa di gereja, membuat tim intel untuk kampung, konsolidasi untuk melakukan demonstrasi, hingga menduduki kantor Bupati.

Ditemui usai menerima penghargaan Yap Thiam Hien Award 2016 di Museum Nasional, Rabu (25/1), Mama Aleta, begitu dia kerap disapa, mengaku hampir setiap minggu menerima ancaman selama proses perjuangan ini. Mulai dari tindak kekerasan, hingga harus diungsikan ke hutan selama enam bulan bersama anak bungsunya yang kala itu berusia dua bulan. Anak-anaknya pun hanya bisa bersekolah di kampung demi alasan keamanan.

Mama Aleta kemudian menemukan strategi baru. Dia membawa 150 perempuan untuk menenun di celah-celah gunung batu yang hendak ditambang. Aktivitas ini berlangsung selama setahun. Strategi ini berhasil, dua perusahaan tambang tak bisa beroperasi dan akhirnya angkat kaki dari kawasan Gunung Mutis.

"Ini perjuangan yang sangat panjang, sejak 1995 - 2012. Melelahkan dan stres. Banyak tantangan, tetapi kami menemukan strategi baru untuk menang. Aksi kami adalah perjuangan damai. Setelah 17 tahun, masyarakat mendapat kembali hak-hak adat mereka terhadap hutan seluas 12.000 hektar," tutur Aleta.

Aleta bersama masyarakat kemudian memulihkan alam yang rusak. Mereka bahu-membahu melakukan penanaman pohon, memperluas hutan, dan melindungi mata air. Masyarakat membentuk kelompok perempuan penenun, pertanian organik, serta kelompok beternak, sebagai kegiatan ekonominya. Setiap dua tahun, masyarakat berkumpul di bawah batu Nausus dan menggelar Festival Ningkam Haumeni. Mereka berkomitmen hanya menjual apa bisa mereka produksi. Mereka tak menjual apa yang tak bisa dibuat.

"Kami ingin menunjukkan kepada pemerintah, bahwa tidak hanya tambang yang menghasilkan PAD. Melalui usaha koperasi tenun juga ikut menyumbang. Saat ini ada 500 kelompok usaha tenun," imbuhnya yang kini duduk di DPRD NTT.

Aleta bukan pertama kali ini menerima penghargaan atas kegigihan dan perjuangannya menolak tambang di sekitar kawasan Gunung Mutis. Sebelumnya, dia juga meraih penghargaan Goldman Environmental Prize 2013 di San Francisco Opera House, Amerika Serikat, atas upaya penyelamatan lingkungan, sosial, budaya masyarakat Mollo.

Ketua Yayasan Yap Thiam Hien, Todung Mulya Lubis, menyebut Aleta Baun adalah simbol perlawanan terhadap kekerasan dan penindasan di tanah kelahirannya. Perlawanan juga bergema hingga ke pelosok NTT.

Yang patut diacungi jempol adalah pola perlawanan Aleta yang menggunakan pendekatan damai. Dia mengajak 150 perempuan, lantas menenun di atas bebatuan sehingga perusahaan tambang marmer tak bisa beroperasi sampai akhirnya angkat kaki.

Bagi orang Mollo, hutan, sungai, tanah, gunung adalah hak adat rakyat Mollo yang diakui dan dinikmati secara turun temurun. Maka, perlawanan Aleta Baun adalah perlawanan yang bersumber pada kearifan lokal.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper