Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pak Gubernur, Pedagang di Tanah Abang Bukan Hanya PKL!

Kebijakan populer Pemprov DKI mengizinkan PKL menggelar lapak di badan Jalan Jatibaru Tanah Abang memang menguntungkan sebagian pedagang, tetapi ternyata menekan omzet pedagang lainnya yang telah berinvestasi membeli kios.
Petugas Ombudsman berbincang dengan pedagang kaki lima (PKL) saat pemonitoran di kawasan Tanah Abang, Jakarta, Rabu (17/1). Pemonitoran tersebut dilakukan untuk mengedukasi PKL bahwa kebijakan dengan menjadikan jalan umum dan trotoar sebagai tempat berjualan yang dibuat oleh Pemerintah Provnsi DKI Jakarta telah melanggar peraturan tentang sarana dan prasarana publik./Antara-Galih Pradipta
Petugas Ombudsman berbincang dengan pedagang kaki lima (PKL) saat pemonitoran di kawasan Tanah Abang, Jakarta, Rabu (17/1). Pemonitoran tersebut dilakukan untuk mengedukasi PKL bahwa kebijakan dengan menjadikan jalan umum dan trotoar sebagai tempat berjualan yang dibuat oleh Pemerintah Provnsi DKI Jakarta telah melanggar peraturan tentang sarana dan prasarana publik./Antara-Galih Pradipta

Bisnis.com, JAKARTA - Gedung Blok A Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, menjulang megah. Jika dilihat dari kejauhan, gedung dengan arsitektur Betawi dan sentuhan Islam tersebut tampak bersanding dengan ikon ibu kota lainnya, Monumen Nasional (Monas).

Nyatanya, Pasar Tanah Abang memang primadona pasar grosir tekstil, bukan hanya di Indonesia, melainkan Asia Tenggara, bahkan dunia. Tak kurang dari Rp100 miliar uang berputar di tempat ini setiap harinya, menjadikan Pasar Tanah Abang salah satu penopang utama pertumbuhan ekonomi Jakarta.

Namun, melihat gedung Pasar Tanah Abang dari kejauhan berbeda dengan menengoknya dari dekat. Suasana riuh, klakson yang menyalak di jalan raya hingga pedestrian yang masih minim menjadikan kata “semrawut” segera terlintas di benak pengunjung ketika bertandang ke Tanah Abang.

Kondisi Tanah Abang yang terbilang unik, yakni pusat perbelanjaan, berpadu dengan titik stasiun kereta listrik tersibuk, menjadikan upaya pembenahan selalu tidak mudah.

Selalu ada pendekatan berbeda dari gubernur ke gubernur untuk membenahi Tanah Abang. Namun tampaknya menata Tanah Abang masih ibarat membuka sebuah kotak pandora, semakin diupayakan, semakin dahsyat dampaknya.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan baru-baru ini membuat kebijakan berani dengan menutup Jalan Jatibaru Raya di dekat Stasiun Tanah Abang dan mengizinkan pedagang kaki lima (PKL) berjualan di badan jalan. Kebijakan itu berlaku sejak 22 Desember 2017.

Ini hanya menyelamatkan ratusan orang di depan [PKL], tetapi mengorbankan ribuan orang di dalam

Kebijakan itu memang menguntungkan PKL. Namun, faktanya, tak sedikit pemilik kios—yang tentu membelinya merupakan investasi yang tidak sedikit—di Pasar Tanah Abang yang mengeluhkan penurunan omzet begitu kebijakan tersebut berlaku.

Salah satunya Yan Yan, 20 tahun, salah satu pedagang di Blok F Tanah Abang yang mengaku mengalami penurunan omzet hampir 50 persen. "Teman-teman di atas [Blok F] juga pada protes," ungkapnya.

Dia merasa kebijakan itu hanya menguntungkan PKL semata dan tidak memberi rasa keadilan bagi ribuan pemilik kios di sejumlah blok di Pasar Tanah Abang. "Kenapa sih Anies enggak pindahin aja itu PKL ke Blok G?" lanjut Yan Yan.

Secara terpisah, Latifah, 49 tahun, pemilik kios lainnya di Pasar Tanah Abang, pun menyatakan telah kehilangan banyak pelanggan dengan adanya kios untuk PKL di depan Stasiun Tanah Abang.

Namun, dia memaparkan sebelum kebijakan itu diberlakukan, pelanggan yang datang langsung ke toko milik Latifah di Blok A Pasar Tanah Abang memang telah berkurang karena persaingan di bisnis daring.

Bisnis daring telah memasuki Pasar Tanah Abang sejak tahun lalu sehingga para pedagang di sana telah beradaptasi dan memanfaatkan teknologi berbasis Internet tersebut untuk berjualan secara daring.

Latifah, yang juga mendapat pesanan melalui bisnis daring, tidak ingin menyebutkan berapa kerugian yang dideritanya. Dia sangat mengeluhkan semakin sepi pengunjung yang datang ke kiosnya sejak PKL diberi kebijakan khusus.

Dia menilai program dari Gubernur DKI Anies Baswedan ini tidak akan berumur panjang. "Kebanyakan orang di sini [Pasar Tanah Abang] pasti tidak setuju. Ini hanya menyelamatkan ratusan orang di depan [PKL], tetapi mengorbankan ribuan orang di dalam. Dulu itu udah enak, yang sekarang mah bikin kacau," katanya sambil membawa barang dagangannya.

Hal senada dicetuskan Faizah, pemilik toko busana muslimah di gedung Blok A dan Blok B Tanah Abang. Dia mengakui omzetnya menurun drastis semenjak PKL beroperasi di badan jalan Jatibaru.

"Sebenarnya, dari 2017 Tanah Abang ini sudah sepi, ditambah dengan adanya PKL ya makin sepi. Dulu sesepi-sepinya, saya masih dapat paling tidak Rp1 juta sampai Rp1,5 juta sehari, sekarang dapat Rp700.000 saja sulit," ungkapnya.

Tidak hanya itu, perempuan berusia 51 tahun ini juga mengatakan hasil laba yang didapatkannya pada Januari 2018 hanya terpakai untuk membayar sewa toko.

"Kalau ditanya soal omzet, ya turun drastis. Biasanya tengah bulan begini sudah cukup untuk bayar sewa toko dan karyawan, sisa laba sampai akhir bulan bisa untuk keperluan tambahan toko dan pribadi, ini paling untuk [bayar] sewa toko dulu, [untuk membayar gaji] dua karyawan terpaksa dari tabungan pribadi dulu," tambahnya.

Sama dengan Faizah, Resti, pedagang tas di Gang 4 Pasar Tanah Abang sejak 2012 pun mengeluhkan hal yang sama. Meski tempat berjualannya tidak jauh dari tempat PKL berjualan, tokonya juga mengalami penurunan omzet.

"Iya memang banyak [pengunjung], tetapi omzet tetap turun, rata-rata mereka [pengunjung] belinya di depan saja [tempat PKL berjualan]. Saya dulu biasanya meski pasar sepi, bisa dapat sehari Rp2 juta, sekarang bisa dapat Rp1 juta sudah Alhamdulillah," ucap Resti.

Bukan Hanya PKL

Penurunan omzet yang drastis ini membuat Faizah dan Resti berharap Gubernur Anies Baswedan tidak hanya memperhatikan PKL, tetapi juga memikirkan nasib mereka yang sudah berdagang cukup lama di Tanah Abang dan mengeluarkan biaya besar dengan membeli kios.

"Kalau bisa ya, Pak Anies itu tidak hanya memikirkan mereka [para PKL], lihat bagaimana sepinya Blok A dan Blok B, apalagi pedagang-pedangan di lantai 5 ini, dibantu juga gitu, misalnya dibuatkan aplikasi untuk berdagang online, atau bagaimanalah baiknya," harap Faizah.

Sedangkan Resti hanya berharap PKL dibubarkan saja, karena selain berpengaruh pada omzet penjualan mereka, adanya PKL juga memotong rezeki para sopir angkot yang biasanya beroperasi di tempat para PKL berdagang.

"Kalau bisa, ya [PKL] dibubarkan saja, bukan karena laba saya turun, tapi lihat saja, kasihan itu sopir-sopir angkot juga bisa dibilang terpotong rezekinya, silakan kalau memikirkan nasib PKL, tapi jangan karena membantu mereka lantas memotong rezeki orang lain. Bantulah kami juga," tutur Resti.

Keluhan soal angkot yang menjauh juga dikemukakan Yanti, 31 tahun, pejalan kaki, yang merasa terganggu dengan ditutupnya Jalan Jatibaru Raya karena digunakan untuk PKL.

Biasanya untuk menuju tempat tujuan, begitu turun dari stasiun, Yanti bisa langsung menyetop angkot. Namun, sekarang ia harus berjalan kaki menyusuri Jalan Jatibaru Raya terlebih dahulu.

"Ya jelas keberatan lah. Terutama pekerja-pekerja dan sudah biasa naik angkot, pasti terganggu," ujarnya.

Pada pekan lalu para sopir angkot M03, M08, M09, M10 dan M11 memang berdemo menuntut Jalan Jatibaru Raya dibuka kembali.

Sehari usai demo tampak beberapa angkot yang beroperasi di daerah Tanah Abang. Meskipun begitu, jumlahnya tidak sebanyak biasanya karena beberapa dari mereka masih 'mogok' menunggu keputusan pemerintah terkait rekayasa rute.

"Sudah demonya, sekarang mulai narik lagi, tapi ya sebagian. [Rutenya] masih memutar," ujar salah satu sopir angkot yang menolak disebutkan namanya.

Sebagai respons untuk demo itu, Pemprov DKI Jakarta sempat menghentikan operasional bus TransJakarta Tanah Abang Explorer. Hal ini membuat sejumlah pembeli semakin kesulitan mengakses Jalan Jatibaru Raya.

Penataan Harus Menyeluruh

Pakar tata kota dari Universitas Trisakti Nirwono Yoga mengatakan apa yang dilakukan Anies di Pasar Tanah Abang tidak substansial mengatasi masalah, sebaliknya menimbulkan persoalan baru. Seharusnya, PKL tak dibiarkan menguasai jalan umum, tetapi dipindahkan dan didistribusikan ke sejumlah pasar rakyat di beberapa wilayah Ibu Kota.

“Berbekal data yang akurat dan disepakati bersama, jumlah PKL yang dibantu dikunci atau tidak ada penambahan lagi, PKL didistribusikan ke pasar rakyat, pusat perbelanjaan, gedung perkantoran, atau ditampung dalam festival PKL. Jadi, tidak ada PKL yang tidak bisa berdagang, semua dapat kesempatan,” tutur Nirwono.

Sementara itu, Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Salahudin Uno pada November 2017 sempat mengungkapkan keinginannya menyulap Tanah Abang menjadi seperti Grand Bazaar Turki.

Menanggapi hal itu, Nirwono menyatakan langkah revitalisasi dan penataan ulang menyeluruh harus ditempuh. Tidak hanya pasar yang ditata ulang, tetapi juga konsep rumah susun sederhana sewa (rusunawa) untuk meremajakan kawasan kumuh dan padat penduduk di sekitarnya, serta gedung parkir vertikal yang terintegrasi stasiun kereta, halte bus dan kereta bandara.

Selain itu, pengelola harus memikirkan konsep belanja daring yang canggih dan mendukung konsep smart market.

“Jadi, seharusnya Tanah Abang ditata dan diremajakan secara keseluruhan sehingga dapat mengurai dan menyelesaikan masalah secara tuntas,” kata Nirwono.

Dia menekankan permasalahan ekonomi, sosial, historis yang membayangi upaya revitalisasi Tanah Abang harus menjadi catatan dan perhatian serius pemerintah jika ingin mewujudkan pasar tersebut sebagai pusat dagang internasional.

“Mestinya setahun ke depan sudah ada perubahan yang signifikan dalam penataan kawasan Tanah Abang, 2 sampai 5 tahun ke depan pembangunan revitalisasi kawasan Tanah  Abang dapat dilakukan,” kata Nirwono.

Bagaimana pun, memang jelas tak mudah untuk menata Jakarta, termasuk kawasan Pasar Tanah Abang. Memang diperlukan kebijakan komprehensif untuk menjalankan penataan yang dapat diterima semua pihak.

Namun, yang pasti, memihak satu sisi dengan mengabaikan sisi lain, apalagi yang telah mengeluarkan investasi hingga ratusan bahkan miliaran rupiah, tentu langkah tak elok. Kita berharap proses penataan Tanah Abang tidak mengabaikan satu pihak pun. Semoga segera dicapai solusi yang optimal.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper