Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

HARI AIR SEDUNIA: Dilema Putusan MA dan Swastanisasi Air di Jakarta

Hari Air Sedunia jatuh pada hari ini, 22 Maret 2018. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun mengangkat tema Alam untuk Air pada tahun ini.
Kegiatan susur sungai Bengawan Solo dalam rangka memperingati Hari Air Dunia ke-25 di Solo, Jawa Tengah, Rabu (22/3)./Antara-Mohammad Ayudha
Kegiatan susur sungai Bengawan Solo dalam rangka memperingati Hari Air Dunia ke-25 di Solo, Jawa Tengah, Rabu (22/3)./Antara-Mohammad Ayudha

Bisnis.com, JAKARTA -- Hari Air Sedunia jatuh pada hari ini, 22 Maret 2018. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun mengangkat tema "Alam untuk Air" pada tahun ini.

Air memang sumber daya vital yang dibutuhkan masyarakat. Penduduk dunia, baik yang berada di kota maupun desa, tentu tidak terpikir hidup tanpa sambungan atau pasokan air bersih.

Persoalan air bersih menjadi persoalan yang menjerat warga DKI Jakarta dalam beberapa tahun terakhir. Dua masalah utama yang menjadi perhatian yaitu masifnya penyedotan air tanah dan keberadaan swastanisasi atau operator air di Ibu Kota.

Swastanisasi air ramai diperbincangkan publik dalam lima tahun terakhir. Ini terjadi setelah 12 orang warga Jakarta yang mewakili beberapa organisasi masyarakat sipil–termasuk Solidaritas Perempuan, Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air, Urban Poor Consortium maupun Walhi Jakarta melayangkan gugatan.

Secara spesifik, Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta atau KMMSAJ mengggugat pemerintah, PT Aetra Air Jakarta, dan PT PAM Lyonnaise Jaya terkait privatisasi air di Ibu Kota.

Seperti kasus citizen lawsuit lainnya, gugatan KMMSAJ tidak selesai dalam waktu singkat. Pada 2015, pengadilan memenangkan gugatan dan membatalkan perjanjian kerjasama PAM Jaya dengan kedua perusahaan. Pengadilan berpendapat kontrak tersebut melanggar hak asasi manusia dan tak dilakukan dengan tender. Keputusan ini kemudian dibawa ke tingkat banding.

Lalu, pada 2016 pengadilan tinggi membatalkan keputusan pengadilan negeri dengan argumentasi bahwa gugatan bukan termasuk kategori citizen law suit. LBH Jakarta kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung pada Maret 2016.

Akhirnya, setelah melewati proses hukum yang cukup panjang, MA mengabulkan gugatan KMMSAJ dan memerintahkan pemerintah menghentikan kebijakan swastanisasi air minum di DKI Jakarta.

Lantas apa yang terjadi setelah putusan MA terhadap privatisasi air di Ibu Kota? Apakah Palyja dan Aetra menghentikan proses kerja mereka? Ternyata, penghentian kebijakan swastanisasi air tidak semudah itu.

Direktur Utama PAM Jaya Erlan Hidayat mengatakan pihaknya tentu ingin mematuhi putusan MA. Namun, sangat sulit bagi Pemprov DKI untuk benar-benar memutuskan hubungan atau mendepak operator dari sektor air bersih.

"Putusan MA kan bilang gak boleh ada swastanisasi, tetapi di sisi lain ada aturan yang menyebutkan bahwa operator swasta boleh tetap berperan. Namun, di belakang atau bagian produksi saja," ujarnya ketika ditemui Bisnis, Rabu (21/2/2018).

Untuk mengantisipasi hal itu, dia menawarkan penataan kembali atau restrukturisasi kontrak kerja sama antara PAM Jaya dengan Palyja-Aetra.

Menurutnya, peran Palyja-Aetra pasca restrukturisasi kontrak akan berubah. Jika saat ini kedua operator tersebut menjalankan bisnis pengolahan air baku hingga distribusi ke pelanggan, maka PAM Jaya akan mengambil alih sebagian pekerjaan tersebut.

Peran Palyja-Aetra, lanjutnya, dipangkas menjadi sebatas mengelola pasokan air baku menjadi air bersih serta mendistribusikan kepada konsumen PAM Jaya. Nantinya, PAM Jaya yang akan menarik bill atau tagihan rekening dari jutaan pelanggan yang tercatat saat ini.

"[Kedua operator swasta] kayak kontraktor sata. Mereka akan mengelola air baku dan mendistribusikannya kepada pelanggan yang sudah saya tunjuk," imbuhnya.

Meski demikian, Erlan masih enggan menyebutkan berapa harga air atau water charge yang akan dibayar oleh PAM Jaya kepada kedua operator.

Skema restrukturisasi antara BUMD DKI tersebut sebenarnya sudah rampung dan siap ditandatangani. Namun, entah kenapa agenda penandatanganan yang seharusnya dijadwalkan Rabu (21/3/2018) di Balai Kota DKI dibatalkan secara sepihak.

"Pak Erlan sampaikan bahwa ada kewajiban untuk melaporkan lebih detil ke pak Gubernur dan Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan [TGUPP]. Agar perjalanan ke depan lebih lancar dan mulus," ujar salah satu staf PAM Jaya yang enggan disebutkan namanya.

Lantas, bagaimana kelanjutkan swastanisasi di Jakarta? Apakah bisa mengikuti proses restrukturisasi yang ditawarkan PAM Jaya? Atau Pemprov DKI akhirnya mengeksekusi sesuai putusan MA?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper