Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Setahun Pemerintahan Anies, PDIP Kritisi 6 Janji Kampanye

Fraksi PDI Perjuangan DPRD DKI Jakarta mengkritisi enam janji kampanye Gubernur DKI Anies Baswedan selama satu tahun memimpin Ibu Kota.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan/Istimewa
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan/Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA--Fraksi PDI Perjuangan DPRD DKI Jakarta mengkritisi enam janji kampanye Gubernur DKI Anies Baswedan selama satu tahun memimpin Ibu Kota.

Ketua Fraksi PDIP DPRD DKI Gembong Warsono mengatakan keenam janji kampanye tersebut di antaranya, OK OCE, OK-Otrip, Rumah DP Rp0, naturalisasi kali dan sungai, legalisasi becak, hingga peningkatan pelayanan publik.

"Kami paham waktu satu tahun memang tak bisa menilai secara keseluruhan [kinerja Gubernur]. Namun, pencapaian selama setahun ini kita dapat melihat pondasi pemerintahan Pak Anies untuk lima tahun ke depan," ujarnya saat konferensi pers di Gedung DPRD DKI, Senin (15/10/2018).

Pertama, PDIP menyoroti kinerja Anies dan bawahannya terkaiy program OK OCE. Dia menuturkan awalnya, program tersebut dijanjikan untuk melahirkan 200 ribu pengusaha baru dengan 44 pos pengembangan kewirausahaan Warga di setiap kecamatan.

Artinya, akan ada 40 ribu pengusaha baru per tahun di Jakarta yang sudah dapat menjalankan usahanya setiap tahun. Syaratnya mengantongi Izin Usaha Mikro dan Kecil (IUMK) yang dikeluarkan oleh Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Pintu Terpadu Satu Pintu (PM-PTSP) DKI.

Pada kenyataannya dari calon pengusaha baru yang sudah terdaftar sebanyak 54.564 orang (website resmi OK OCE) dari target 40 ribu. Namun, mereka belum bisa menjalankan usahanya karena belum mendapatkan izin usaha.

Data faktual menunjukkan bahwa data per Januari sampai dengan awal Oktober 2018 barulah hanya mencapai 1.811 IUMK (Ijin Usaha Mikro & Kecil) milik Pengusaha Mikro dan Kecil yang tergabung dalam gerakan OK OCE.

"Dalam setahun ini, Anies baru berhasil mencetak pengusaha baru sekitar 3,31% dari total target 40 ribu. Ini kan terlampau jauh dari sasaran awal," ungkapnya.

Kedua, program transportasi umun OK-Otrip yang baru saja diubah istilahnya menjadi Jak Lingko. Menurut Gembong, program OK OTrip resmi diluncurkan 14 Desember 2017 menghadapi lebih banyak hambatan ketimbang peluangnya. Contoh konkretnya, minimnya peminat operator atau koperasi angkutan umum untuk bergabung disebabkan tidak tersedianya proyeksi keuntungan dalam skema perhitungan oleh Pemprov DKI Jakarta.

Alhasil jumlah armada yang bargabung baru 283 unit per September 2018 dengan melayani sebanyak 33 rute. Tentu angka itu jauh dari target 2.000 armada yang di gembar gemborkan Pemprov DKI di sepanjang 2018.

PDIP mengapresiasi langkah Aniez melakukan re-branding nama OK OTrip menjadi Jak Lingko sebagai gambaran konsep integerasi dengan berbagai moda.

"Hanya saja, kami tak yakin integerasi itu akan terealisasi mulus mengingat masih banyaknya halte yang belum terkoneksi, jumlah armada yang belum layak, operator yang belum berminat untuk bergabung," ungkapnya.

Di kesempatan yang sama, Sekretaris Fraksi PDI Perjuangan DKI Dwi Rio Sambodo melanjutkan program ketiga yang menjadi sorotan dewan adalah Rumah DP Rp0.

Menurutnya, program yang diubah namanya menjadi Solusi Rumah Warga (SAMAWA) jelas bukan untuk orang miskin. Pasalnya, unit yang sedang dibangun di Pondok Kelapa, Jakarta Timur ditujukan bagi warga berpenghasilan Rp4 juta- Rp7juta per bulan dengan Minimum cicilan Rp 2 juta perbulan.

Tentunya ini diluar listrik, air bersih, dan iuran pengelolan lingkungan (IPL) karena status rusunami tidak memungkinkan diberikan subsidi.

"Pertanyaannya, keberpihakan terhadap rakyat miskin yang tidak mampunya ada dimana? Ini malah blunder karen Pemprov justru membatalkan proyek tiga rusunawa," jelasnya.

Rusunawa yang dicoret pembangunannya oleh Dinas Perumahan DKI, yaitu rusunawa di Ujung Menteng sebesar Rp 361 miliar, Rusunawa PIK Pulogadung sebesar Rp 188 miliar, dan revitalisasi pembangunan Rusun Karang Anyar di Jakarta Pusat sebesar Rp162 miliar.

Dia juga mengkritisi tidak jelasnya dasar hukum program DP RP0. Meski sudah launching untuk masyarakat umum, Anies justru belum mengumumkan badan layanan umum daerah (BLUD).

"Sekarang ini tidak ada perumahan untuk warga miskin. Program Dp 0 Rupiah hanya untuk melayani warga kelas menengah. Warga miskin dipaksa untuk hidup susah," ucapnya.

Keempat, program terkait penanganan banjir di Jakarta. Seperti diketahui, sejak Joko Widodo, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), dan Djarot Saiful Hidayat mengeksekusi program naturalisasi sungai Ciliwung-Cisadane.

Di awal 2018, Gubernur Anies mengeluarkan wacana naturalisasi sungai yang diklaim lebih baik daripada normalisasi yang nyatanya sudah berhasil mengurangi jumlah titik rawan banjir di Ibu kota. Namun, program tersebut malah jalan di tempat.

Balai besar ciliwung cisadane, normalisasi kali pesanggarahan, pembebasan lahan yang belum sampai 40%, dan masih banyak lagi yang belum terlaksana secara operasional lapangan.

"Lebih terlihat jelas lagi dalam skema anggaran APBD 2019 pembebasan lahan di Dinas tata air yang berhubungan langsung dengan normalisasi tidak terlihat," ungkapnya.

Kelima, soal niat Anies melegalkan para penarik becak di Jakarta. Anggota Fraksi PDIP DKI Merry Hotma menilai langkah tersebut merupakan kebijakan yang merugikan masyarakat.

"Legalisasi becak merupaka kebijakan yang menyesatkan. Gubernur justru menyeret pengemudi becak ke sebuah pekerjaan yang enggak punya kepastian hukum," katanya.

Pasalnya, aturan soal pelarangan becak diatur dalam Perda 8/2007 tentang ketertiban umum. Namun, revisi belum dibahas, warga di kelurahan Cilincing dan Teluk Gong justru telah membangun shelter becak di 10 titik.

Menurutnya, hal itu lambat-laun akan merugikan para penarik becak karena tidak adanya kepastian hukum lantaran Badan Perencanaan Peraturan Daerah DKI belum membahas dengan eksekutif.

"Kami belum membahas revisi perda tibum. Kebijakan gubernur hanya pencitraan yang tidak melindungi rakyat," ujar Merry.

Terakhir, PDIP juga mengevaluasi kinerja terhadap pelayan publik dalam setahun ini dapat dikatakan mengalami kemunduran yang signifikan, dapat terlihat dalam garda terdepan pelayanan publik Pemprov DKI Jakarta di banyak instansi-instansi di wilayah lingkungan operasional lapangan.

Kehadiran aparatur tidak lagi berwibawa seperti sebelumnya sehingga kepercayaan masyarakatpun mengalami penurunan. Semuanya disebabkan oleh kualitas dan kuantitas pelayanan yang semakn menurun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper