Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Inovasi Manajemen Trafik

pa bedanya Indonesia dengan Vietnam? Moga-moga Anda tidak bosan jika jawaban saya adalah infrastruktur! Moga-moga pula tidak keliru jika saya menyebutkan: Indonesia sibuk mengurai kemacetan alias debottlenecking dengan seminar infrastruktur, Vietnam menyediakan infrastruktur sebelum terjadi bottlenecking, untuk mengantisipasi ekspansi ekonomi yang lebih kencang.

Bisnis.com, JAKARTA - Apa bedanya Indonesia dengan Vietnam? Moga-moga Anda tidak bosan jika jawaban saya adalah infrastruktur!

Moga-moga pula tidak keliru jika saya menyebutkan: Indonesia sibuk mengurai kemacetan alias debottlenecking dengan seminar infrastruktur, Vietnam menyediakan infrastruktur sebelum terjadi bottlenecking, untuk mengantisipasi ekspansi ekonomi yang lebih kencang.

Kebetulan pekan lalu saya singgah di Hanoi dan sekitarnya. Kesan saya, Ibu Kota Vietnam itu giat membangun infrastruktur mulai dari jalan, jembatan, hingga bandar udara (bandara).

Meski jalanan yang sudah ada masih relatif sepi, jauh dari kemacetan, tetapi jalanan baru terus dibangun. Meski sekarang bandara di Hanoi masih  tampak relatif sepi, tetapi perluasan bandara sudah hampir selesai dikerjakan.

Perluasan bandara baru akan siap digunakan 2015 mendatang, tepat saat diberlakukannya Masyarakat Ekonomi Asean. Ini momentum yang pas, mengingat saat ini saja banyak turis dari Singapura pergi ke Vietnam via Hanoi untuk menikmati Halong Bay.

Lebih dari itu, kalau sekarang Vietnam banyak dibicarakan para investor, rasanya masuk akal. Mereka siap-siap mengantisipasi ekspansi ekonomi dengan menyediakan infrastruktur yang diperlukan.

Buat saya, Vietnam, sebagaimana Malaysia dan China, adalah contoh, negara yang melakukan inovasi dalam manajemen ekonomi. Infrastruktur disediakan untuk menyongsong ekspansi ekonomi, bukan sibuk memikirkan infrastruktur setelah terjadi hambatan bagi laju ekonomi.

***

Apakah perbandingan itu cuma isapan jempol? Saya kira tidak. Sekadar contoh saja, coba deh hari-hari ini Anda terbang, dari dan ke bandara Soekarno Hatta.

Bandara internasional terbesar di Indonesia itu menyimpan bom waktu yang suatu saat akan meledak jika pemerintah tidak bergerak cepat.

Didisain dengan kapasitas 20 juta setahun, penumpang via bandara Soekarno Hatta kini sudah mendekati 60 juta setahun.

Maka bandara paling canggih di Indonesia --tetapi tertinggal di Asia Tenggar-- itu kini selalu penuh sesak. Bahkan mulai penerbangan pertama pun, penumpang berjubel di areal check-in.

Antrean pesawat untuk tinggal landas juga kian panjang. Apalagi saat sore hari, ketika pesawat hendak mendarat alias landing pun juga harus antre.

Ini bukan cuma buruk bagi penumpang, tetapi juga buruk bagi bisnis penerbangan. Sekadar ilustrasi, pekan lalu seorang kolega yang hendak terbang ke Kuala Lumpur dengan pesawat Garuda 'marah-marah' dan 'mengumpat' melalui status di akun media sosial, karena kesal dengan manajemen lalulintas penerbangan di bandara.

Pasalnya, penerbangan yang harusnya tinggal landas sekitar pukul 9 pagi terpaksa molor sekitar pukul 11 siang. Meski penumpang sudah duduk manis di kabin, take-off pesawat berulangkali ditunda. Padahal, ia harus melakukan penerbangan lanjutan dan ganti pesawat di bandara tujuan.

Take-off pesawat molor bukan karena mesin ngadat, melainkan karena 'inspeksi landasan'. Sampai pilot pesawat pun mengumumkan penundaan take-off dengan nada kesal.

Sebaliknya, tidak jarang pesawat harus berputar-putar di angkasa menunggu giliran mendarat. Senin (23/12/2013) lalu, pesawat yang saya tumpangi harus memutar dua kali di atas laut Jawa saat hendak mendarat dari Singapura.

Karena harus berputar-putar menunggu giliran mendarat, kru Kabin sampai dua kali menyampaikan permohonan maaf kepada penumpang. Pesawat yang seharusnya landing pukul 19.02 WIB, baru bisa mendarat pukul 19.35 WIB, alias molor lebih dari 30 menit.

Bukan cuma itu. Karena landing pada landasan pacu yang berbeda dengan terminalnya, pesawat membutuhkan waktu hampir 30 menit tambahan untuk parkir di terminal kedatangan. Alhasil, banyak waktu penumpang yang terbuang sia-sia.

Bagi maskapai penerbangan, ini cerita menyakitkan. Sekadar ilustrasi, pesawat bermesin turbo-fan --baik dari Airbus maupun Boeing-- generasi baru yang lebih efisien saja membakar 3.200-an liter avtur untuk terbang selama satu jam.

Mesin generasi sebelumnya bahkan membutuhkan 4.000 liter avtur per jam. Tinggal Anda hitung, berapa liter avtur terbuang percuma akibat "macet" di udara. Dengan keahlian matematika biasa, kita tahu pemborosan bahan bakar hingga separuhnya!

Berita buruknya, kejadian delayed-landing itu hampir setiap sore terjadi di Soekarno Hatta dan menimpa hampir semua maskapai penerbangan domestik maupun internasional.

***

Lain lalulintas udara, lain pula lalulintas darat. Sebagai pengguna jalur tol Karawaci-Jakarta sejak lebih dari 10 tahun terakhir, saya tahu persis bagaimana perkembangan kemacetan jalur itu dari tahun ke tahun yang semakin memburuk. Padahal ini salah satu jalur penghubung ekonomi vital antara Jawa dan Sumatra.

Jika beberapa tahun lalu hanya perlu waktu 1,5 jam saat jam padat dari Karawaci menuju Jakarta, tahun ini bahkan sudah memerlukan waktu hampir 3 jam, bahkan kadangkala lebih lama lagi.

Mengapa? Karena infrastruktur tidak berubah. Jalan, termasuk tol, tidak ada penambahan,  tetapi jumlah kendaraan kian membeludag. Kawasan perumahan di sekitar Karawaci dan Serpong juga semakin padat, yang dihuni oleh banyak pekerja yang berprofesi di Jakarta.

Kondisi transportasi umum juga tidak banyak berubah, sehingga kendaraan pribadi menjadi satu-satunya pilihan. Hasilnya, wabah kemacetan!

Tetapi, sejak 16 Desember lalu, saya merasa surprise, karena lalulintas via tol tersebut relatif lancar. Setelah beberapa hari baru saya paham, ternyata penyebabnya satu hal: inovasi pada traffic management.

Meski baru uji coba, PT Jasa Marga selaku pengelola jalan tol pada ruas itu melakukan perubahan pengelolaan trafik sejak 16 Desember lalu.

Sejumlah pintu tol yang selama beberapa tahun terakhir menjadi sumber kemacetan ditutup pada jam 08.00-10.00. Lalu, contra-flow atau arus berlawanan dari Kembangan ke Tomang hanya dipergunakan untuk tujuan Harmoni melalui underpass Tomang. Ini berarti menghilangkan sumber kemacetan dari contra-flow, yang sebelumnya terpecah ke tujuan Grogol, Harmoni dan Slipi yang menyumbat perempatan Tomang.

Hasilnya? Lalulintas Kembangan-Kebon Jeruk-Tomang relatif lancar karena tidak terjadi sumbatan. Sentuhan kecil, inovasi manajemen lalulintas, itu berdampak besar.

Saya membayangkan, jika Gubernur Joko Widodo mau menginstruksikan Dinas Lalulintas di Jakarta untuk memetakan trafik di masing-masing jalan yang macet, dan melakukan perubahan manajemen trafik, barangkali akan mampu mengurangi kemacetan di Ibu Kota. Tentu sambil menambah infrastruktur yang diperlukan serta aturan lain untuk menjaga keseimbangan jumlah kendaraan dengan ketersediaan jalan.

Sekadar contoh, pembukaan jalan layang Kampung Melayu-Tanah Abang, yang akan mulai beroperasi pada 1 Januari 2014, diharapkan akan mengurai kemacetan di jalur Cassablanca yang selama ini seperti 'jalur neraka' di Jakarta.

Namun, saya khawatir, apabila jalur memutar (U-turn) di jalur-jalur ujung jalan layang tetap dipertahankan, maka kemacetan baru di ujung jembatan layang justru akan semakin parah. Kendaraan yang mengantre berputar akan menghalangi kendaraan yang turun dari jembatan.

Ini ibarat pengaturan trafik di bandara, di mana pesawat yang mengantre hendak take-off menghalangi pesawat yang hendak mendarat karena pengaturan lalulintas penerbangan yang kurang optimal akivat keterbatasan landasan.

Saya percaya, kemacetan di jalanan Jakarta dapat relatif diurai dengan traffic management yang baik, seperti rekayasa lalulintas di Tanah Abang yang sudah berhasil dilakukan Jokowi dan Ahok.

Begitu pun kemacetan di angkasa Jakarta. Kabarnya, frekuensi trafik pesawat yang hendak tinggal landas dan mendarat di bandara Soekarno Hatta sebenarnya masih bisa dioptimalkan, dari 0,6 menit menjadi 0,45 menit, asalkan teknologinya diperbarui.

Tentu, ini butuh inovasi sumberdaya dan teknologi yang optimal. Dengan perbaikan traffic management di Soekarno Hatta, keterlambatan terbang dan pendaratan tentu dapat dikurangi secara signifikan.  Bagaimana menurut Anda?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Arief Budisusilo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper