Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Gali Potensi Pajak Baru, DKI Perlu Kolaborasi

Perubahan bisnis yang begitu cepat, masih belum bisa diikuti oleh undang-undang yang birokrasinya luar biasa. Dukungan antara pemerintah pusat, daerah, pihak swasta dan kecepatan legislasi mutlak diperlukan.
Wakil Kepala BPRD DKI Jakarta Yuandi B Miko dan Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan 2000-2001 Machfud Sidik/Bisnis-Aziz R
Wakil Kepala BPRD DKI Jakarta Yuandi B Miko dan Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan 2000-2001 Machfud Sidik/Bisnis-Aziz R

Bisnis.com, JAKARTA — Perubahan bisnis yang begitu cepat, masih belum bisa diikuti oleh undang-undang yang birokrasinya luar biasa. Dukungan antara pemerintah pusat, daerah, pihak swasta dan kecepatan legislasi mutlak diperlukan.

Hal ini disampaikan Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan 2000-2001 Machfud Sidik, Selasa (5/11/2019) ketika menghadiri diskusi yang diselenggarakan Badan Pajak dan Retribusi Daerah (BPRD) Provinsi DKI Jakarta.

Dalam diskusi yang berlangsung di Dinas Teknis Abdul Muis ini, Kapasitas Machfud sebagai mantan Dirjen Pajak diharapkan mampu memberikan inspirasi bagi personel BPRD DKI, selaku pengelola pajak daerah di Ibu Kota.

Machfud menekankan agar pihak otoritas pengelola pajak skala regional tak berkecil hati akibat target yang telah ditetapkan, sebab sudah masuk ke ranah politis. Menurutnya, lebih baik BPRD DKI melihat progress tahunan (y-o-y) dan fokus mengeksplorasi potensi pajak baru.

Oleh sebab itu, Machfud mengapresiasi upaya BPRD DKI melakukan ekstensifikasi pajak. Terpenting, kebijakan yang akan dibuat tak meninggalkan prinsip-prinsip keadilan dan menekankan pada masyarakat bahwa pajak yang mereka berikan akan kembali dalam bentuk pelayanan publik yang makin baik.

"Pemerintah daerah itu mendapat mandat dari masyarakat untuk melakukan pelayanan publik. Maka inovasi dari badan pajak harus terus didorong, supaya masyarakat paham dan harapannya semakin patuh. Jadi sebelumnya daerah harus siap kritik dan tahan banting ketika memetakan potensi-potensi baru," tambahnya.

Menurutnya, pajak dan pelayanan publik harus seimbang layaknya air dalam bejana berhubungan. Maka, ketika terdapat potensi pajak baru di suatu sektor, pemerintah daerah mesti mendahuluinya dengan kebijakan yang juga bisa memacu pertumbuhan ekonomi di sektor tersebut.

Seperti diketahui, Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah (BPRD) Provinsi DKI Jakarta Faisal Syafruddin mengungkap bahwa pada tahun depan pihaknya akan mendorong ekstensifikasi pajak untuk memperoleh potensi pajak baru.

Bahkan, BPRD berupaya meng-handle beberapa sektor yang tergolong 'abu-abu' antara pajak pusat dan pajak daerah. Misalnya, di sektor properti seperti pajak servis apartemen, sewa ruangan yang ada di Jakarta, dan pengunaan rumah atau apartemen yang disewa harian seperti hotel.

BPRD pun tengah membidik toko roti untuk menambah pajak restoran. Serta memperimbangkan usulan Komisi C Bidang Keuangan DPRD DKI Jakarta untuk membuat regulasi terkait parkir valet untuk optimalisasi pajak parkir.

Terkait hal ini, Machfud mengungkap bahwa singgungan mengenai pajak daerah dan pajak pusat sehingga disebut 'grey area' memang tidak bisa dihindari.

"Karena kita menganut undang-undang yang menekankan tidak boleh ada double taxation. Padahal, kecenderungan internasional sekarang, ketika suatu daerah memiliki beban besar sebagai penyelenggara pemerintahan, itu pajak ganda tidak masalah. Asalkan beban akhir pajak harus jangan terlalu mendistorsi," jelasnya.

Oleh sebab itu, menurutnya kolaborasi dan komunikasi, serta dukungan politis dari pihak legislatif merupakan kunci. Inilah yang harus menjadi perhatian semua pihak, sebab dalam hal ini, pengelola pajak daerah tak bisa berdiri sendiri.

"Ini jelas butuh kolaborasi. Jadi sekarang bisnis itu makin complicated. Hotel misalnya, sudah ada persewaan ruangan, fasilitas, yang jadi objek PPn atas mixed use property. Maka harus ada kolaborasi dari pusat dan daerah," ungkapnya.

Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua BPRD DKI Jakarta Yuandi Bayak Miko menjelaskan bahwa pihaknya akan fokus dalam komunikasi dan percepatan pemetaan potensi pajak baru.

"Masih ada beberapa persinggungan, terutama persewaan gedung jangka pendek. Kita intens berkomunikasi dengan Dirjen Pajak. Sehingga ini bisa menjadi jelas ini objek siapa dan hal-hal yang menjadi persinggungan antara pajak pusat dan daerah itu bisa kita putuskan dalam waktu dekat," jelasnya.

Menurut Yuandi, hal ini penting demi mengimbangi perolehan pajak-pajak yang fluktuatif atau sangat bergantung pada kondisi perekonomian.

Misalnya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang pada tahun ini realisasinya paling jeblok akibat sektor properti yang melambatn yakni Rp3,7 triliun dari target Rp9,5 triliun. Serta, pajak hotel yang realisasinya masih di bawah perolehan periode yang sama di tahun lalu, yakni Rp1,3 triliun per 5 November 2019 dari target Rp1,8 triliun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Aziz Rahardyan
Editor : Akhirul Anwar
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper