Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Masih Banyak Orang Jakarta Enggan Nabung di Bank

Siapa sangka, sudah ratusan tahun sistem perbankan masuk di Indonesia, namun, masih banyak masyarakat yang enggan menabung di bank.Banyak masyarakat yang harus berpikir dua kali untuk menabung dan bahkan melakukan pinjaman melalui bank. Mirisnya lagi, hal itu terjadi di Ibukota negara Indonesia yakni Jakarta.
Bank DKI/jakarta.go.id
Bank DKI/jakarta.go.id

Bisnis.com, JAKARTA-- Siapa sangka, sudah ratusan tahun sistem perbankan masuk di Indonesia, namun masih banyak masyarakat yang enggan menabung di bank.

Banyak masyarakat yang harus berpikir dua kali untuk menabung,  bahkan melakukan pinjaman melalui bank. Mirisnya lagi, hal itu terjadi di Ibukota negara Indonesia yakni Jakarta.

Padahal, rencananya regulator bersama dengan pelaku industri keuangan akan menggalakan program laku pandai atau branchless banking untuk menjangkau
masyarakat yang belum terjamah layanan bank konvensional (unbankable).

Di pinggir Timur Jakarta yakni tepatnya Kelurahan Makassar, sejumlah warga lebih memilih untuk menyimpan uangnya dengan sistem keuangan yang dikenal ASCA atau Accumulative Saving and Credit Association.

ASCA merupakan microfinancing yang bersifat seperti tabungan sekaligus koperasi simpan pinjam untuk anggotanya. Sistem ini pun bukan pertama kalinya dilakukan di Indonesia tetapi telah di belahan dunia lain telah menggunakan sistem ini untuk mengelola uangnya seperti Afrika.

Sejumlah warga yang menggunakan sistem keuangan ini pun mengaku terbantu dalam upaya peningkatan perekonomian keluarga. Contohnya, Rina, ibu rumah tangga ini telah mengikuti hampir empat tahun menabung dengan sistem ASCA yang dikelola bersama teman-teman satu rukun tetangganya.

"Saya dan teman-teman sudah mengelola ASCA Maju Bersama. Selama hampir 4 tahun, saya bisa buka usaha sendiri yang lebih besar jualan pulsa dengan nominal 1 juta untuk dua hari dan toko kelontong," ujarnya kepada Bisnis.com, Rabu (25/3/2015)

Tingginya biaya administrasi yang dikenakan oleh bankhingga keribetan syarat untuk membuka tabungan maupun meminjam uang lah yang membuat mereka akhirnya memilih untuk mengelola dengan sistem ASCA.

"Di bank itu ribet dan potongannya banyak tiap bulan. Minjem juga ribet, harus ada survei dan enggak mungkin kalau minjemnya cuman dikit. Bagi masyarakat seperti kami sangat sulit," tutur Rina.

Di ASCA ini menggunakan sistem pembelian 'saham' yang mana setiap anggota diperbolehkan membeli 1 lembar saham dan maksimal membeli 5 lembar saham.

Harga per lembar sahamnya pun tergantung dengan kesepakatan kelompok setiap ASCA. "Di ASCA Maju Bersama ini harga per lembar saham Rp25.000. Maksimal hanya boleh beli 5 lembar," ucapnya.

Pertemuan di ASCA ini diadakan sebanyak dua kali dalam sebulan yang mana tiap pertemuannya para anggota memiliki kewajiban untuk menabung dan memberikan dana sosial serta melakukan pinjaman.

Tidak hanya itu, mereka pun menerapkan sistem denda sebesar Rp2.000 bagi anggota yang tak dapat hadir, anggota yang makan dan bahkan anggota yang mengobrol saat pertemuan. Uang denda itu dialokasikan di dana sosial yang nantinya dapat membantu anggota yang sakit atau di akhir tahun penutupan untuk berekreasi.

"Pinjaman yang diberikan sebanyak dua kali lipat dari jumlah yang tabungannya dengan bunga 1 bulan 2% dan selama 3 bulan sebesar 10%. Bunga ini pun sesuai dengan kesepakatan. Bagi hasil yang diperoleh tiap anggota bisa sebesar 10%-18%," kata Rina.

Sistem

Pada periode 2013-2014, jumlah uang yang terkumpul milik anggota ASCA Maju Bersama senilai Rp30,45 juta dengan total saham 1.449 lembar, sedangkan periode 2014 hingga 25 Maret 2015 sudah terkumpul Rp41,15 juta dengan 1.646 lembar saham.

Pengenalan sistem pengelola keuangan kepada masyarakat yang tidak dapat terjangkau oleh industri perbankan ini terus dilakukan oleh Wahana Visi Indonesia yang merupakan patner dari World Vision.

Microfinance Develepment Specialist Wahana Visi Indonesia Margareta Wahyu C.W mengatakan pengenalan sistem pengelola keuangan ASCA ini bertujuan agar masyarakat bawah tidak terlilit banyak hutang pada renternir.

Hal itu dikarenakan karena masyarakat enggan melakukan pinjaman kepada bank yang memiliki berbagai syarat admistrasi dan tingginya bunga pinjaman.

"Mereka juga enggak pinjam dan ikut koperasi pun banyak biaya dan bunga juga tinggi sehingga akhirnya banyak yang terlilit hutang sama renternir. Kan kasian mereka pinjam enggak seberapa tapi harus balikin ke renternir yang besar," ujar Margareta.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Yanita Petriella
Editor : Nancy Junita

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper