Bisnis.com, BEKASI--Kalangan pengusaha Kota Bekasi mengancam akan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara masif pada tahun ini apabila buruh terus menuntut kenaikan upah minimum kota (UMK). Ancaman itu diutarakan pengusaha dalam rapat evaluasi UMK 2013 yang berlangsung pekan lalu.
Selain itu, pengusaha mendesak kepada Pemkot Bekasi untuk bersikap adil terhadap pengusaha dalam menentukan upah buruh. Pasalnya, selama ini penentuan UMK di Bekasi selalu berujung dengan voting dimana suara terbanyak didominasi oleh suara buruh ditambah suara dari perwakilan pemerintah.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kota Bekasi Purnomo Narmiadi mengatakan dalam setiap rapat penentuan upah buruh, pengusaha berusaha mengusulkan bahwa UMK sesuai dengan besaran kebutuhan hidup layak (KHL) Kota Bekasi sebesar Rp1,9 juta. Namun usulan itu, kata dia, selalu kalah dengan tekanan dari buruh yang mendesak UMK Kota Bekasi sebesar Rp2,4 juta.
“Setiap rapat hasil akhir yang juga melibatkan Dewan Pengupahan, pengusaha selalu kalah. Oleh karena itu, dalam rapat evaluasi kemarin kami meminta keadilan kepada pemerintah. Jika tidak, PHK akan semakin besar,” papar Purnomo kepada Bisnis.com, Minggu (18/5/2014).
Menurut Purnomo, dampak dari kenaikan UMK sebenarnya merugikan kaum buruh. Pasalnya, setiap kenaikan upah terdapat pengurangan karyawan karena pengusaha tidak mampu menanggung beban lebih besar. Dia menyayangkan sikap buruh yang melakukan aksi anarkistis dengan memblokade ruas jalan yang merugikan pengguna jalan. Sehingga kejadian itu membuat aparat kepolisian dan pemerintah memaksa pengusaha untuk menyetujui tuntutan buruh.
Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Kabupaten/Kota Bekasi R Abdullah mengatakan ketentuan besaran UMK Kota Bekasi akan dirapatkan pada Agustus tahun ini. Saat ini, estimasi upah buruh di Kota Patriot belum diketahui.
Perihal dengan ancaman pengusaha yang bakal merumahkan buruh akibat upah buruh, Abdullah bisa memahami kondisi tersebut. Namun demikian, langkah pengusaha melakukan PHK tidak serta merta karena faktor upah buruh.
“Kami melihat, pemerintah juga tidak tepat dalam membuat kebijakan. Dikala pengusaha ingin bangkit justru dibebani dengan kenaikan tarif listrik industri dan kenaikan harga BBM. Akibatnya, banyak perusahaan yang relokasi,” ujarnya.