Bisnis.com, JAKARTA - Garuda Institute mengecam keras provokasi yang disampaikan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok melalui media terhadap para pejabat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait hasil audit laporan keuangan Pemprov DKI 2014, terutama yang menyangkut pembelian tanah 3,64 ha milik Yayasan Kesehatan Sumber Waras.
Menurut Koordinator Tim Peneliti Garuda Institute, Roso Daras menyatakan bahwa provokasi yang dilakukan Ahok dinilai memelintir fakta sebenarnya itu juga bertendensi politik, yaitu mendistraksi informasi dan mengaburkan pokok masalah yang lebih substansial, yakni akuntabilitas keuangan Pemprov DKI.
Seperti siaran pers yang diterima Bisnis, Minggu (12/7/2015), guna menjernihkan kesimpangsiuran informasi sekaligus mendudukkan persoalan yang sebenarnya, Garuda Institute mengklaim telah melakukan kajian dan diseminasi informasi atas pembelian tanah 3,64 ha tersebut dan menemukan sedikitnya 12 fakta;
Fakta 1
Pemprov DKI membeli sebidang tanah di bagian belakang areal RS Sumber Waras-Grogol seluas 3,64 ha. Tanah ini tidak siap bangun karena di atasnya terdapat sejumlah bangunan milik RS Sumber Waras yang hingga kini masih difungsikan. Tanah sekaligus wilayah di sekitar tanah tersebut juga dikenal sebagai daerah langganan banjir.
Fakta 2
Tanah 3,64 ha itu berbatasan dengan rumah penduduk (utara), Jl. Tomang Utara IV (timur), Jl. Tomang Utara (barat), serta RS Sumber Waras (selatan). Jl. Tomang Utara adalah jalan kampung sempit yang selalu macet pada jam kerja. Saat ini, tanah tersebut tidak mempunyai akses jalan kecuali melalui tanah milik RS Sumber Waras.
Fakta 3
Pemprov DKI membeli tanah tersebut seharga Rp20,75 juta per meter atau Rp755,69 miliar cash. Harga Rp20,75 juta per meter adalah NJOP tanah bagian depan areal RS Sumber Waras yang berbatasan dengan Jl. Kyai Tapa. Sementara NJOP tanah bagian belakang areal RS yang berbatasan dengan Jl. Tomang Utara hanya Rp7,44 juta.
Fakta 4
Pemilik tanah 3,64 ha itu adalah Yayasan Kesehatan Sumber Waras yang pengurusnya dipimpin oleh Kartini Muljadi, perempuan terkaya di Indonesia. Yayasan itu didirikan oleh orang-orang Tionghoa yang bergabung dalam Perhimpunan Sosial Candra Naya yang sebelumnya bernama Perkumpulan Sin Ming Hui ().
Fakta 5
Tanah 3,64 ha yang dibeli Pemprov DKI memiliki sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor 2878 per 27 Mei 1998 dengan masa berlaku 20 tahun, alias habis 27 Mei 2018. Berdasarkan Pasal 36 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996, tanah dengan sertifikat HGB yang habis jangka waktunya otomatis menjadi tanah milik negara.
Fakta 6
Tanah 3,64 ha yang dibeli Pemprov DKI memiliki tunggakan utang pajak bumi dan bangunan (PBB) senilai total Rp6,62 miliar. Tunggakan pajak itu tidak menjadi pengurang harga beli sebagaimana lazimnya praktik transaksi tanah. Posisi terakhir, Yayasan Kesehatan Sumber Waras baru membayar 50% dari tunggakan tersebut.
Fakta 7
Transaksi pembelian tanah antara Yayasan Kesehatan Sumber Waras dan Pemprov DKI dilakukan saat yayasan masih terikat dengan Akta Perjanjian Perikatan Jual Beli (APPJB) tanah yang sama dengan PT Ciputra Karya Unggul. Yayasan, seperti diatur dalam APPJB itu, juga telah menerima uang muka Rp50 miliar dari PT Ciputra Karya Unggul.
Fakta 8
Harga tanah dalam APPJB tersebut disepakati Rp15,50 juta per meter, ditambah syarat Yayasan Kesehatan Sumber Waras mengurus perubahan peruntukan tanah tersebut dari umum menjadi komersial. Sementara itu, Pemprov DKI membeli tanah tersebut seharga Rp20,75 juta per meter, tanpa ada syarat perubahan peruntukan.
Fakta 9
Pengurus Yayasan Kesehatan Sumber Waras menawarkan tanah 3,64 ha itu kepada Pemprov DKI dengan alamat di Jl. Kyai Tapa, dengan harga NJOP pada 2014 sebesar Rp20,75 juta per meter (Rp755,69 miliar). Padahal, lokasi fisik tanahnya berada di Jl. Tomang Utara, dengan NJOP pada 2014 yang hanya Rp7,44 juta (Rp564,35 miliar).
Fakta 10
Pemprov DKI membeli 3,64 ha tanah itu Rp755,69 miliar tanpa menawar dan mengecek, sama dengan penawaran Yayasan Kesehatan Sumber Waras. Penawaran disampaikan 7 Juli 2014, dan direspons langsung oleh Gubernur DKI Jakarta pada 8 Juli dengan mendisposisikannya ke Kepala Bappeda untuk dianggarkan dalam APBD-P DKI 2014.
Fakta 11
Pemprov DKI membeli tanah itu untuk dijadikan rumah sakit. Padahal, selain lokasinya tidak strategis, belum siap bangun, langganan banjir, dan tak mudah diakses karena berada pada jalan kampung, Pemprov DKI juga masih punya banyak tanah yang strategis. Apalagi, kebutuhan minimal tanah untuk rumah sakit hanya 0,25 ha (2.500 m2).
Fakta 12
Sekalipun Gubernur DKI Basuki Tjahaya Purnama telah mengklaim akan membatalkan transaksi pembelian tanah itu, pada praktiknya pembatalan tersebut nyata bukan sepenuhnya berada dalam kekuasaan Pemprov DKI. Selama Yayasan Kesehatan Sumber Waras tidak mau membatalkannya, maka transaksi itu pun tidak bisa dibatalkan.
Gubernur DKI Basuki Ahok Tjahaya Purnama belum mengklarifikasi pernyataan Roso Daras ini. Namun sebelumnya, Ahok mengatakan BPK RI salah persepsi jika menyebut DKI Jakarta bisa membeli banyak lahan sehingga Pemprov DKI mampu membayar tanah dengan harga appraisal.
"Siapa bilang DKI tanahnya banyak? Untuk bangun taman saja baru 8,5% yang terpenuhi, sementara kami diwajibkan punya 30%. Ini BPK hanya cari pembenaran saja," tudingnya.
Ahok mengaku membeli lahan RS Sumber Waras seluas 3,7 hektare. Setengah lahan sudah dibelinya sesuai harga nilai jual objek pajak (NJOP). Namun menurut temuan BPK pembelian lahan itu bermasalah karena memakai harga yang lebih mahal dari NJOP lahan dibelakang rumah sakit, sehingga ditemukan kelebihan anggaran Rp191 miliar.
"Kami mau duduk memberitahukan bahwa menurut kami BPK tidak pantas mengaudit seperti ini, karena ini tendensius sekali. Saya kita panggil saja mantan-mantan orang KPK, Kejagung. Duduk bareng, BPK auditnya jangan prosedural saja deh," kata Ahok pagi ini di Pendopo Balai Kota, Jumat (10/7/2015).
Ahok mengakui adanya kesalahan di Dinas Kesehatan DKI yang awalnya tidak membeli lahan dengan harga taksiran pasar (appraisal) karena NJOP DKI dibawah harga pasar. Padahal BPK RI menyarankan Pemprov DKI untuk membeli senilai harga appraisal.
Ketika Pemprov DKI coba membeli dengan harga appraisal ternyata harganya lebih mahal ketimbang harga NJOP. Maka Ahok memutuskan membeli dengan harga NJOP. Pemprov DKI pun mau membeli lahan tersebut sesuai prosedur appraisal yang mengalami pelonjakan harga.
Hasil pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemprov DKI Jakarta Tahun 2014 ada 70 temuan dengan total Rp2,16 triliun terdiri atas indikasi kerugian daerah senilai Rp442,3 miliar, potensi kerugian daerah senilai Rp1,71 triliun, kekurangan penerimaan daerah senilai Rp3,23 miliar, administrasi senilai Rp469,5 juta dan pemborosan senilai Rp3,04 miliar.