Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan pejabat tinggi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan DKI Jakarta berinisial (EDN) kepada Majelis Kode Etik BPK RI atas dugaan pelanggaran kode etik dan potensi konflik kepentingan.
EDN diduga telah mencampuradukkan kepentingan pribadi dengan kewenangannya sebagai pejabat BPK DKI Jakarta untuk mengeruk keuntungan dari Pemprov DKI Jakarta.
Laporan ICW ke Majelis Kode Etik BPK RI dugaan adanya konflik kepentingan tersebut berkaitan dengan laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK DKI Jakarta atas Belanja Daerah Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta 2014.
Firdaus Ilyas, Ketua Divisi Riset ICW mengatakan bahwa dalam LHP tersebut diungkap temuan terkait Pmeprov DKI Jakarta harus membayar ganti rugi pembebasan lahan seluas 9.618 m2 yang ada di tengah areal TPU Pondok Kelapa, Jakarta Timur.
Menurut temuan BPK DKI Jakarta, tanah milik masyarakat di areal TPU Pondok Kelapa seluas 9.618 m2 itu telah diurug oleh Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI sebelum adanya proses pembayaran ganti rugi.
Sementara itu, berdasarkan laporan masyarakat yang diterima ICW, kronologinya ketika ditarik mundur ke 2005, diketahui bahwa pejabat BPK Perwakilan DKI Jakarta (EDN) tersebut menyatakan sudah membeli 4 persil tanah seluas 9.618 meter persegi di tengah areal TPU Pondok Kelapa DKI Jakarta.
Pada Juni 2005, yang bersangkutan berkirim surat kepada Pemda DKI Jakarta, menawarkan agar tanahnya tersebut dibeli. "Mekanisme berkirim surat ini bahkan hingga enam kali," tutur Firdaus.
Menurutnya, pada intinya surat yang dikrimkan EDN tersebut menyatakan bahwa tanah yang ditawarkan dan dikuasainya itu telah clear and clean dan menjamin menanggung seluruh masalah hukum atas pembebasannya.
Namun, ternyata pihak Pemprov DKI Jakarta menolak untuk membeli, karena menilai bahwa tanah di lokasi TPU Pondok Kelapa tersebut telah dibebaskan semenjak 1979 hingga 1985.
Kemudian, EDN merespon penolakan tersebut dengan menyurati Kepala BPK DKI Jakarta kala itu, untuk meminta klarifikasi dan pemeriksaan terkait status atas tanah tersebut. Surat dikirimkan sejak 2013, namun sampai Agustus 2014, BPK DKI Jakarta kala itu tidak kunjung mengeluarkan LHP.
LHP baru keluar ketika EDN menjabat sebagai Kepala BPK DKI Jakarta pada Agustus 2014, yang menyatakan bahwa Pemprov DKI Jakarta harus membayar ganti rugi kepada masyarakat pemilik lahan di TPU Pondok Kelapa tersebut, dikarenakan dinilai bahwa Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta telah melakukan pengurugan tanah sebelum dilakukan pembayaran ganti rugi.
Menurut Febri Hendri, Ketua Divisi Investigasi ICW, berdasarkan analisis perbandingan substansi antara surat pribadi EDN dan temuan LHP BPK DKI Jakarta atas tanah tersebut ditemukan kemiripan substansi. Temuan LHP BPK membenarkan dan menguatkan serta sejalan dengan surat EDN kepada Pemprov DKI Jakarta.
Dengan demikian patut diduga bahwa EDN telah menggunakan kewenangannya selaku pejabat strategis BPK Perwakilan DKI Jakarta untuk melakukan pemeriksaan atas status tanah pribadinya.
Selain itu, ICW juga menemukan sejumlah kejanggalan dan menimbulkan sejumlah pertanyaan. Pertama, mengapa EDN berani mengambil risiko membeli tanah seluas 9.816 m2 ditengah areal TPU Pondok Kelapa, karena telah diklaim milik Pemprov DKI Jakarta sebagai aset mereka.
Tanah tersebut masuk dalam rencana pembebasan tanah sejak 1979, yang tidak boleh dijual dan peruntukannya hanya sebagai pemakaman. Bagaimana EDN yakin menjanjikan bahwa tanah itu tidak bermasalah hukum? Apakah EDN percaya diri membeli tanah itu dikarenakan dia adalah pemeriksa BPK, sehingga mengetahui seluk beluk status tanah itu?
Kejanggalan kedua, mengapa EDN langsung menawarkan pembelian/pembebasan dalam waktu singkat atau hanya beberapa bulan semenjak dibeli dari 3 pemilik tanah itu kepada Pemprov DKI Jakarta. Apakah memanfaatkan kedudukannya sebagai pemeriksa BPK kala itu?
Kejanggalan ketiga, dari mana EDN memiliki dana untuk membeli lahan seluas 9.618 m2 tersebut? Pasalnya, apabila melihat nilai jual objek pajak (NJOP) tanah pada 2005 sekitar Rp500.000 per meter persegi, maka butuh dana sekitar Rp4,9 miliar. Kemudian, apabila dihitung NJOP pada 2011 sekitar Rp1.573.000 per meter persegi, maka harganya menjadi Rp15,4 miliar.
Lalu, apakah EDN memiliki dana sebesar itu? Dengan melihat pendapatannya sebagai pemeriksa BPK RI? Lalu, apakah EDN juga melaporkan tanah ini sebagai aset tidak bergerak pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN)?
"Terkait emua itu, kami menduga telah terjadi konflik kepentingan EDN dalam pemeriksaan tanah seluas 9.618 m2 di TPU Pondok Kelapa itu,” tuturnya.
Selain itu, lanjutnya, ICW juga menduga ada pelanggaran atas pasal 6 ayat 2, point d, pasal 9 ayat 2 point b dan point d Peraturan BPK RI No.2/2011 tentang Kode Etik BPK RI.
“ICW mendesak agar Majelis Kode Etik BPK RI melakukan pemeriksaan, persidangan dan memutuskan atas dugaan pelanggaran kode etik dan konflik kepentingan dari EDN,” ujarnya.