Bisnis.com, JAKARTA - "Enggak usah ngomong reklamasi lagi lah, pusing aku."
Pernyataan itu terlontar dari mulut Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dua pekan silam.
Meski dikenal sebagai pribadi yang ekspresif, raut muka orang nomor satu di Ibu Kota tersebut acap kali tak menunjukkan kesan positif kala awak media yang bertugas di Balai Kota DKI bertanya soal pro-kontra proyek reklamasi Teluk Jakarta.
Keengganan Ahok membahas soal reklamasi tak terjadi lantaran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap tangan Ketua Komisi D DPRD DKI Mochammad Sanusi beserta barang bukti uang tunai Rp1,14 miliar pada Kamis, (31/3/2016) dan menetapkan Sanusi serta Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Tbk. (APLN) Ariesman Widjaja sebagai tersangka.
Mantan Bupati Belitung Timur tersebut sudah menjadi fokus pemberitaan media massa kala dirinya mengeluarkan SK Gub No 2238/2015 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra pada 23 Desember 2014.
Tanda tangan Ahok di surat tersebut menjadi buah bibir lantaran dirinya baru sebulan menduduki jabatan Gubernur DKI menggantikan Joko Widodo.
Setahun berselang, dia kembali menandatangani Kepgub No 2485/2015 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau K kepada PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk. pada Selasa, 17 November 2015.
Terakhir, Kepgub No 2268/2015 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau kepada PT Taman Harapan Indah diteken pada Senin, 30 November 2015.
Dengan demikian, Ahok sukses menyandang status sebagai Gubernur DKI yang berhasil mengeluarkan lima izin pelaksanaan reklamasi kala dirinya memimpin DKI Jakarta selama setahun terakhir.
Meski diterpa banyak kritikan, dia tetap bersikukuh meminta pengembang melakukan pengerukan laut untuk membangun pulau baru.
Dia bahkan meminta Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan (Bappeda) DKI Tuty Kusumawati untuk membuat draft Rancangan Peraturan Daerah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantura Jakarta (Raperda Pantura).
Pembahasan dua raperda tersebut dilakukan oleh perwakilan eksekutif dan Badan Legislasi Daerah (Balegda) sejak November 2015.
Proses pembahasan pasal per pasal berjalan cukup lancar hingga akhirnya terjadi deadlock terkait pasal soal pemenuhan kewajiban, kontribusi, dan kontribusi tambahan yang harus ditanggung pengembang.
Berdasarkan draf awal yang diterima Bisnis, Pasal 116 ayat (11) berisi tambahan kontribusi dihitung sebesar 15% dari nilai jual objek pajak (NJOP) total lahan yang dapat dijual (saleable area).
Sementara itu, pada pembahasan terakhir, tim Balegda DKI justru menghapus ayat tersebut. Sebagai gantinya, ada penambahan ayat baru (14) yang menyebutkan ketentuan lebih lanjut mengenai besaran, mekanisme, pengenaan kewajiban, kontribusi, dan tambahan kontribusi serta tata cara penyerahannya diatur dalam Peraturan Gubernur.
Oleh KPK, perubahan sikap Balegda DKI tersebut dicurigai menjadi salah satu penyebab suap ke anggota Dewan.
Komisi Antirasuah itu bahkan sudah memanggil nama-nama besar di bidang properti salah satunya, Bos PT Agung Sedayu Sugianto Kusuma alias Aguan.
Polemik reklamasi membuat pimpinan DPRD DKI seakan mati langkah.
Bahkan Ketua DPRD DKI Prasetio Edi Marsudi mengumumkan tidak akan melanjutkan pembahasan dua Raperda tersebut hingga masa jabatannya berakhir pada 2019.
Deputi Gubernur Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup DKI Jakarta Oswar Mungkasa mengatakan dua perda tersebut berfungsi mengatur dan mengelola ruang pulau reklamasi. Pembatalan proyek reklamasi tak hanya berdampak bagi pemerintah, tetapi dunia usaha.
"Kalau proyek tidak dilanjutkan ya investasi gak bisa masuk. Pemerintah dan pelaku usaha akan kehilangan berbagai potensi ekonomi karena kawasan tersebut akan menjadi pusat kegiatan primer Jakarta," ujarnya kepada Bisnis, Kamis (7/4/2016).
Sebagai informasi, semua pengembang yang memegang konsesi 17 pulau reklamasi sudah mengantongi izin prinsip.
Izin prinsip tersebut dikeluarkan di era kepemimpinan Fauzi Bowo pada 2012.
Sementara itu, pengembang properti yang telah mengantongi izin reklamasi a.l. PT Kapuk Naga Indah (Pulau C,D,E), PT Muara Wisesa Samudra (Pulau G), PT Jakarta Propertindo (Pulau F), PT Taman Harapan Indah (Pulau H), PT Jaladri Kartika Pakci (Pulau I), dan PT Pembangunan Jaya Ancol (Pulau K).
Meski pembangunan dilaksanakan oleh swasta, dia mengatakan proses reklamasi akan menambah aset dan pendapatan asli daerah (PAD).
Mengacu pada pasal 9 ayat (1) Keputusan Presiden No 52/1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta, areal hasil Reklamasi Pantura diberikan status Hak Pengelolaan kepada Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Dengan kata lain, Pemprov DKI akan mendapat tambahan aset lahan seluas 5.100 m2 yang didapat dari total pembangunan 17 pulau yang dilaksanakan oleh pengembang swasta, BUMD, BUMN, dan Pemprov DKI.
Namun, harapan membangun pulau impian tak bisa segera direalisasikan. Pasalnya, Pemerintah pusat dan Pemprov DKI sepakat melakukan penghentian sementara (moratorium) proyek reklamasi 17 Pulau di Teluk Jakarta.
Menteri Perekonomian Bidang Maritim Rizal Ramli mengatakan moratorium dilakukan untuk menyelesaikan polemik reklamasi yang dilaksanakan oleh pengembang di pantai utara (Pantura), Jakarta Utara.
"Kami akan bentuk joint comittee yang terdiri dari perwakilan pemerintah pusat dan Pemprov DKI supaya masalah ini bisa diselesaikan secepatnya," katany, Senin lalu di Kemenko Maritim, Jakarta Pusat.
Rizal menambahkan, beberapa beleid yang menjadi sumber polemik pemberian kewenangan proyek reklamasi a.l. Keppres 52/1995 tentang Pelaksanaan Reklamasi Pantura, UU No 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan Perpres No 122/2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
"Agar semuanya objektif, kami minta Pemprov DKI melakukan moratorium reklamasi Teluk Jakarta sampai semua peraturan dipenuhi semua pihak, termasuk pemerintah dan pengembang," jelas Rizal Ramli.
Asisten Sekretaris Daerah (Sekda) DKI Bidang Pembangunan dan Lingkungan Hidup Gamal Sinurat mengatakan pihaknya akan melakukan sinkronisasi dengan tim gabungan reklamasi Teluk Jakarta yang terdiri dari Kemenko Maritim, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
"Ini mau disinkronkan dulu. Kan ada dua versi berbeda soal perizinan. Kami memandang ada di Gubernur, sementara pemerintah pusat bilang di Kementerian," katanya.
Dia berharap dengan adanya tim gabungan tersebut bisa menyamakan persepsi antara perwakilan pemerintah daerah dan pusat, baik soal kewenangan, regulasi, maupun dampak ke lingkungan hidup.
Konsultan Colliers International Indonesia Bagus Adikusumo mengatakan para pengembang sebaiknya segera melakukan sosialisasi soal moratorium tersebut kepada pembeli dan calon pembeli.
"Keputusan moratorium ini kan di luar rencana. Developer mau tidak mau harus menghentikan penjualan dan promosi kepada konsumen," paparnya.
Dia menuturkan standar prosedur (standard of procedure/SOP) yang wajib dilaksanakan oleh developer pulau reklamasi adalah memberitahu kondisi di lapangan kepada konsumen, khususnya bagi pembeli yang sudah menyetorkan uang muka (down payment/DP).
Lebih lanjut, Bagus mengungkapkan beban tersebut tidak semuanya ditanggung oleh developer semata. Pemerintah, baik pusat maupun Pemprov DKI harus mempercepat proses pengkajian administrasi dan analisis dampak lingkungan (AMDAL) dari masing-masing pulau.
Pasalnya, kata dia, pengembang sudah terlanjur menggelontorkan investasi besar untuk menggarap pulau reklamasi.
"Moratorium jangan dilakukan terlalu lama. Pemerintah harus segera menyelesaikan problematika ini sehingga ada kepastian kapan pengembang bisa memulai kembali proses pembangunan pulau," katanya.
Meski terjadi kontroversi, dia berpendapat proyek reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta sebaiknya dilanjutkan karena mampu menarik investasi, khususnya properti, ke Ibu Kota. Permintaan yang datang pun tak datang dari investor dalam negeri saja, melainkan juga dari luar negeri.
"Tren memiliki properti di pulau berupa water front city sangat diminati konsumen. Proyek reklamasi 17 pulau bisa menjadi magnet baru investasi properti di Jakarta," imbuhnya.
Kini, moratorium telah ditetapkan. Akan seperti apakah pulau reklamasi itu pada akhirnya? Kita tunggu saja.