Bisnis.com, JAKARTA – Kualitas udara di Jakarta yang buruk membuat Gubernur DKI Anies Baswedan meminta PT PLN untuk memeriksa cerobong pembangkit listriknya pada Kamis (8/8/2019).
Anies berharap asap dari pembakaran batu bara dari cerobong PLN tidak memberikan dampak besar pada polusi udara Jakarta.
Permintaan Anies itu bukan tanpa alasan, karena berdasarkan hasil penelitian tim peneliti dari Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Greenpeace Indonesia bahwa sisa debu dari pembakaran batu bara ditemukan pada udara Jakarta.
Kawasan Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya yang rindang pun ternyata tak menjamin bebas dari polusi udara Jakarta.
Di kawasan ini juga melayang-layang partikel debu yang bisa membahayakan kesehatan manusia. Temuan awal tim peneliti ITB mendapati senyawa organik dalam debu halus atau particulate matter (PM) berukuran PM 2,5 yang berseliweran di udara kawasan ini.
“Ada indikasi bahwa (sisa debu) dari pembakaran batu bara sampai ke Jakarta,” kata Puji Lestari, guru besar bidang pengelolaan udara dan limbah di Fakultas Teknik dan Lingkungan ITB di Bandung, pertengahan Juni lalu.
Puji dan tim penelitinya membagi kandungan debu pada udara di Lubang Buaya, Jakarta Timur, ke dalam empat fraksi. Bagian terbesar memang diidentifikasi dari debu jalanan, sekitar 14 persen. Yang mengejutkan, bagian kedua terbesar, sekitar 8 persen, identik dengan senyawa yang dihasilkan dari pembakaran batu bara di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Tim peneliti ITB menemukan hal serupa di Taman Kebon Jeruk Intercon, Jakarta Barat. Di kawasan perumahan mewah itu juga ditemukan senyawa organik sisa debu batu bara berukuran PM 2,5. Debu yang diduga berasal dari cerobong PLTU itu konsentrasinya lebih pekat, sampai 9 persen. Puji dan kawan-kawan masih menunggu hasil pengujian sampel dari lokasi ketiga, yaitu kompleks Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta Pusat.
Puji dan tim mengumpulkan sampel debu di tiga kawasan itu dan menguji kandungan kimianya sejak November 2018 sampai Februari 2019. Total pengambilan sampel 30-40 kali. Mereka akan mengulangi pengambilan sampel pada musim kemarau ini.
Tiga lokasi penelitian dipilih mengikuti lokasi alat pemantau kualitas udara milik pemerintah DKI Jakarta. Ketiga lokasi itu juga mewakili wilayah timur, barat, dan pusat Jakarta, berdasarkan pola angin yang cenderung bertiup dari barat ke timur.
“Ini pola angin yang kami peroleh selama satu tahun,” Puji menjelaskan.
Dari temuan awalnya, Puji memastikan adanya kandungan sisa pembakaran batu bara yang masuk ke Jakarta. Namun, untuk melacak lokasi persis pembakaran batu bara itu, Puji memerlukan riset lanjutan.
“Saya belum melihat apakah itu semua murni dari batu bara pembangkit (PLTU) atau mungkin ada sumber lain,” ujar dia.
Sebelumnya, penelitian terpisah yang dilakukan Greenpeace Indonesia juga mengindikasikan adanya abu batu bara pada udara Jakarta. Greenpeace membuat pemodelan perangkat lunak (software) Calmet Calpuff.
Pemodelan itu memperhitungkan baku mutu emisi dari 12 PLTU yang berlokasi dalam radius 100 kilometer di luar Jakarta. Selusin pembangkit itu tersebar di 11 lokasi. Tujuh unit di antaranya sudah beroperasi.
Hasil pemodelannya, konsentrasi debu halus pembakaran batu bara yang selama ini berembus ke Jakarta berada pada angka 15 μg/m3. Nilainya diperkirakan meningkat menjadi 20 μg/m3 setelah pemerintah merealisasi pembangunan lima PLTU baru dalam radius yang sama.
“Artinya, kalau lihat Jakarta, dalam kondisi maksimal bisa saja pembakaran PLTU menyumbang 20 μg/m3,” kata Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Ariyanu.
Berdasarkan kesimpulan Greenpeace, konsentrasi debu halus batu bara ukuran 15-20 μg/m3 di Jakarta hampir mencapai 30 persennya.
Hasil pemodelan Greenpeace memang masih di bawah baku mutu PM 2,5 yang ditetapkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yakni 65 μg/m3. Masalahnya, menurut Bondan, baku mutu versi Kementerian Lingkungan Hidup itu tak pernah diperbarui selama 20 tahun.
Bondan lantas membandingkannya dengan baku mutu versi Badan Kesehatan Dunia (WHO). Badan ini menetapkan ambang batas debu halus di udara harian tak boleh lebih dari 25 μg/m3. “Standar nasional tiga kali lipat lebih lemah dibanding standar WHO,” kata dia.