Bisnis.com, JAKARTA - Dinas Perhubungan dan Transportasi DKI Jakarta segera melakukan uji coba perluasan area pelarangan motor yakni dari Medan Merdeka Barat hingga ke Bundaran Senayan.
Uji coba yang rencananya dimulai pada 12 September membuat kendaraan roda dua tak lagi bisa melaju di kawasan Jalan Sudirman, Jakarta Pusat. Sementara itu, penerapan kebijakan itu akan dilaksanakan secara permanen pada 11 Oktober mendatang.
Petisi yang dipublikasikan di situs www.change.org tersebut berjudul Tolak Pelarangan Motor di Sudirman-Kuningan Oktober 2017. Petisi tersebut dibuat oleh seorang warganet bernama Leopold Sudaryono.
Hingga Senin (28/8/2017), petisi ini sudah ditandatangani oleh 6.365 warganet dari total 7.500 yang dibutuhkan. Dengan demikian, perlu 1.135 pendukung.
Dalam laman change.org, Leopold menuturkan Kebijakan ini tidak berdasarkan kajian akademis yang dibagikan kepada publik. Setiap hari faktanya pada jalur cepat Sudirman mengarah ke HI maupun jalan Tol yang tak bisa dilalui motor pun kondisinya macet parah.
Selain itu, Pemda DKI perlu melihat dampak ekonomi dari pelarangan yang akan sangat signifikan terhadap pengendara motor.
Baca Juga
"Kebijakan baru ini merugikan pengemudi motor, khususnya yang bekerja, tukang ojek online, atau kurir yang mengantar barang," ungkapnya seperti dikutip dari laman change.org, Senin (28/8/2017).
Pemda DKI dalam kebijakan pelarangan mengenyampingkan kepentingan lebih dari 73% pembayar PKB (Pajak Kendaraan Bermotor) di DKI yang justru adalah pengguna sepeda motor.
"Mengapa tidak di uji coba saja pada tanggal ganjil mobil dilarang dan tanggal genap motor yang dilarang. Bisa dilihat pada tanggal berapa jalan lebih macet dan pengguna angkutan umum meningkat?" katanya.
Berdasarkan penjelasan diatas maka kami meminta Pemda DKI untuk menghentikan kebijakan pelarangan ini dengan alasan-alasan. Pertama, kebijakan pelarangan sepeda motor di ruas Jalan Sudirman- Kuningan menyangkut hajat hidup masyarakat luas baik yang secara langsung menggunakan motor ataupun mereka yang membutuhkan layanan jasa motor.
Kedua, ketiadaan ruas alternatif yang paralel dan memadai akan menyebabkan waktu dan biaya yang dikeluarkan pengguna motor menjadi tinggi (high cost). Selain itu, tidak ada kajian mendalam terkait dengan Perda/Pergub yang didasarkan pada naskah akademik.
"Kebijakan ini tidak melalui proses konsultasi publik dimana dokumen studi bisa diakses dan dipelajari publik," imbuhnya.