Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Tata Ruang Jakarta Butuh Harmonisasi Pemerintah & Swasta

Sejumlah pengamat menilai penataan tata ruang Jakarta harus mengutamakan harmonisasi antara pihak pemerintah dan swasta.
Ilustrasi Monas/Antara
Ilustrasi Monas/Antara

Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah pengamat menilai penataan tata ruang Jakarta harus mengutamakan harmonisasi antara pihak pemerintah dan swasta.

Sebab, selama ini dunia usaha kerap dianggap sebagai pihak yang harus dijauhi dalam pengembangan kota.

Ketua Dewan Pakar Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) DKI Jakarta sekaligus Wakil Ketua Umum Dewan Persatuan Pusat (DPP) Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) Bidang Tata Ruang, Kawasan Strategis, dan Lingkungan Hidup Hari Ganie mengatakan Jakarta butuh konsep baru pengembangan yang lebih fokus.

“Menurut hirarkinya kota ini hanya memiliki fungsi jasa dan perdagangan, jadi cukup memaksimalkan pelayanan pada masyarakat, investor, maupun wisatawan. Jangan melihat Jakarta sebagai Ibu Kota maka segalanya harus dipusatkan di sini,” katanya, Jumat (3/2).

Hari menuturkan desain Jakarta juga harus mengakomodir fungsi hirarki pengembangan pusat kota ini. Untuk itu, harus dilakukan kerjasama antar pemangku kepentingan terutama dunia usaha dan pemerintah.

Pemerintah tidak boleh lagi memandang dunia usaha sebagai musuh. Sebab, jika hanya berjalan satu sisi saja, maka pembangunan tidak akan berjalan sesuai yang dicita-citakan.

Tak hanya itu, Jakarta juga harus dikembangkan menjadi pusat kegiatan nasional, regional, dan lokal. Sehingga tujuan dan pemanfaatan ruang harus berdasarkan hirarki kegiatan-kegiatan tersebut, jika tidak perlu maka tidak usah membangun yang lainnya

“Program dan kepentingan pusat di Jakarta terlalu banyak. Maka perlu dibangun konsensus dan komunikasi dengan pemerintah pusat. Ingin seperti apa Jakarta dibangun serta bagaimana konsistensi dalam mewujudkan pembangunan berdasarkan tata ruang harus dijaga tidak boleh didekte pasar,” ujar Hari.

Persoalan lain saat ini, Jakarta sudah kalah dari kawasan pinggiran Jakarta lain seperti Tangerang, Bekasi, dan Bogor. Pasalnya pengembang lebih memilih membangun kawasan terpadu maupun properti komersial yang premium di sana.

Menurut Hari, banyak faktor yang membuat kondisi tersebut terjadi. Antara lain, upah minimum Jakarta yang tinggi membuat pengembang berfikir dua kali mengembangkan kawasan industri di sini.

Alasan umum lainnya yakni harga tanah yang semakin tidak terjangkau bahkan beberapa kawasan mencapai ratusan juta per meter persegi.

Meski Hari menilai hal tersebut juga menjadi satu hal positif yang akan membuat Jakarta naik kelas. Sebab, sudah semestinya kota ini berjalan tanpa mengakomodir banyak kebutuhan industri karena telah menyebar ke sekitar wilayah yang lain.

Namun, sisi lain pengembang menjadi enggan mengembangkan proyek startegis di Jakarta. Hingga saat ini Hari menuturkan ada sekitar 25 proyek kawasan terpadu skala kota artinya di atas 500 hektare dikembangkan dipinggiran Jakarta.

“Jadi Jakarta harus kembali memiliki konsep pengembangan kawasannya dengan melibatkan seluruh wilayah baik Jakarta Timur atau Selatan dan Barat. Tugas lain Jakarta juga harus terus maju memenangkan persaingan global dengan kota sejenis Manila, Johor, dan lainnya dalam hal kemudahan berbisnis,” kata Hari.

Sementara itu, Ketua IAP Indonesia DKI Jakarta Dhani Muttaqin menekankan permasalahan di Jakarta sekarang muncul akibat karena adanya dominasi yang berlebihan dari salah satu aktor dalam perkotaan.

Aktor yang dimaksud, lanjutnya, bisa berasal dari korporasi badan swasta, pemimpin yang populis, ataupun dari birokrasi yang prosedural-mekanistis.

Bila korporasi swasta terlalu mendominasi dalam mempengaruhi rencana dan kebijakan kota, maka pembangunan kota cenderung berorientasi pada kegiatan ekonomi, tanpa memperhatikan aspek sosial dan lingkungan.

“Sedangkan bila birokrat terlalu mendominasi kebijakan perkotaan, maka kemajuan perkotaan akan sangat bergantung dari inisiatif dan kinerja dari para pengelola kota tersebut. Dan terakhir, bila pemimpin kota menjadi figur sentral yang mempengaruhi perkembangan suatu kota, maka dominasi kepemimpinan tersebut dapat berujung pada terjadinya kesewenang-wenangan,” katanya.

Menurut Dhani, semua jenis dominasi tersebut dalam jangka panjang akan berdampak buruk pada perkembangan kota karena tidak mencerminkan keseimbangan kepentingan dari seluruh stakeholder kota.

Idealnya, proses perencanaan dan perkembangan kota menengah harus diarahkan pada terbentuknyacivil society yang egaliter, dimana semua stakeholder kota secara sadar mengetahui dan memahami hak dan kewajiban serta menjalankan perannya masing-masing dalam pembangunan kota yang didasari oleh nilai-nilai pluralisme.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Rustam Agus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper