Bisnis.com, JAKARTA - Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra menyayangkan kasus perundungan (bullying) siswa berinisial JSZ lantaran beda agama dan etnis yang konteksnya terkait Gubernur DKI Jakarta periode 2014--2017 Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
"Benar dia di-bully dan dipanggil Ahok karena matanya sipit," kata Komisioner Hak Sipil dan Partisipasi Anak KPAI itu kepada wartawan di Jakarta, Selasa (31/10/2017).
Di media sosial Facebook sempat tersebar bahwa JSZ yang mengalami perundungan verbal, fisik dan psikis akibat beda agama dan etnis di antara siswa sekolah dasar (SD) pada umumnya.
Dia juga menyayangkan pihak sekolah yang tidak mengetahui dugaan perundungan terjadi di SD setempat, sehingga perlu dilakukan penyelidikan lebih jauh oleh Dinas Pendidikan Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta terkait dugaan pembiaran perundungan sesama peserta didik yang terjadi di sekolah itu.
Lingkungan pendidikan, menurut dia, sejatinya menjadi tempat pengasuhan kedua bagi peserta didik setelah dari rumah. Sekolah juga menjadi tempat mencerdaskan anak didik baik dari sisi mengasah kecerdasan intelektual, spritual, emosional dan sosial.
"Diharapkan dunia pendidikan bisa membantu menemukan kecerdasan tersebut secara terintegrasi pada diri anak sehingga anak merasakan lingkungan pendidikan yang ramah," katanya.
Baca Juga
Perlindungan bagi siswa, dinilainya, juga harus dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah dan atau masyarakat sebagaimana tertera dalam Pasal 54 Ayat 2 UU nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Jasra juga mengimbau semua pihak untuk tidak melakukan diskriminasi dan tindakan kekerasan terhadap anak-anak yang bisa saja memiliki kemiripan keseharian dengan JSZ dengan alasan apapun.
Hal itu, dikemukakannya, sangat bertentangan dengan UU Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak Pasal 9 Ayat 1a bahwa "Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik dan atau pihak lain".
"Oleh sebab itu, semua pihak harus bekerja sama secara baik untuk memastikan hak-hak korban maupun pelaku anak bisa terpenuhi, termasuk pendidikan dan rehabilitasi atau pendampingan psikologisnya," demikian Jasra Putra.