Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

MRT Terancam Molor, Tarif belum juga Final

Penetapan tarif mass rapid transit (MRT) Jakarta yang belum final berpotensi memundurkan jadwal operasional komersial moda raya terpadu tersebut pada akhir bulan ini. Sementara itu, berbagai usulan skema tarif masih terus mengemuka.
Tarif LRT (Light Rapid Transit) dan MRT (Mass Rapid Transit)
Tarif LRT (Light Rapid Transit) dan MRT (Mass Rapid Transit)

Bisnis.com, JAKARTA – Penetapan tarif mass rapid transit (MRT) Jakarta yang belum final berpotensi memundurkan jadwal operasional komersial moda raya terpadu tersebut pada akhir bulan ini. Sementara itu, berbagai usulan skema tarif masih terus mengemuka.

Tarif MRT menjadi topik headline koran cetak Bisnis Indonesia edisi Sabtu (9/3/2019), berikut laporannya.

Sejauh ini, sudah ada tiga usulan besaran tarif MRT. Pertama, Pemprov DKI Jakarta mengusulkan tarif sebesar Rp10.000 per perjalanan per penumpang. Besaran tarif tersebut dihitung dengan mengacu pada harga keekonomian operasionalisasi MRT dan asumsi jumlah penumpang (ridership).

Harga keekonomian operasionalisasi MRT sebesar Rp31.659 dan asumsi ridership MRT sebanyak 65.000 penumpang per hari. Dengan demikian, Pemprov DKI harus merogoh kocek sebesar Rp21.659 per penumpang.

Selain MRT, Pemprov DKI juga mengusulkan tarif light rail transit (LRT) Jakarta sebesar 6.000 per perjalanan per penumpang. Dengan asumsi jumlah penumpang LRT Jakarta 14.255 orang per hari dan harga keekonomian operasional sebesar Rp41.654, maka subsidi yang digelontorkan sebesar Rp35.655 per penumpang. (lihat grafis)

Kedua, Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) mengusulkan tarif MRT sebesar Rp12.000 per penumpang, dengan catatan tarif tersebut sudah terintegrasi dengan bus Transjakarta dan Jak Lingko yang dikelola oleh PT Transjakarta.

Untuk LRT Jakarta, DTKJ mengusulkan tarif sebesar Rp10.800, dengan catatan harus terintegrasi dengan bus Transjakarta dan Jak Lingko. Ketiga, PT MRT Jakarta mengajukan usulan tarif antara Rp8.000—Rp10.000 sekali jalan.

Di sisi lain, MRT direncanakan beroperasi pada pekan terakhir bulan ini.

Agus Pambagio, Managing Partner PH & H Public Policy Interest, menuturkan dengan melihat sejumlah kondisi, operasional MRT sebaiknya diundur karena sejumlah aspek belum rampung, termasuk soal penetapan tarif.

Tarif MRT ini kan ada unsur subsidinya. Ketika menyangkut subsidi ke APBD, ada proses politik di DPRD. Jadi, tergantung lobi Gubernur DKI Jakarta dengan DPRD,” ujarnya kepada Bisnis, Jumat (8/3).

Berkaca pada penetapan tarif Transjakarta pada 2004, tarif Rp2.500 per penumpang disepakati lewat proses negosiasi yang alot dari tarif keekonomian Rp8.000 per penumpang.

Sementara itu, penasihat Forum Perkeretaapian Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno menilai Pemprov DKI Jakarta bisa menerapkan dua strategi untuk pengenaan tarif MRT Jakarta.

Pertama, Pemprov DKI Jakarta bisa menggratiskan tarif MRT Jakarta selama 1 bulan sebagai bagian sosialisasi tarif sekaligus menyurvei keinginan warga soal tarif MRT Jakarta rute Lebak Bulus-Bundaran HI. Kedua, mengenakan tarif promosi selama 1 bulan sebesar Rp8.500 per penumpang sebagai bagian sosialisasi kepada calon penumpang angkutan massal berbasis rel tersebut.

Untuk mengetahui kemampuan bayar masyarakat, bisa diterapkan dua strategi itu bagi MRT Jakarta,” katanya.

Dari sisi beban subsidi yang harus ditanggung, dia menilai Pemprov DKI Jakarta masih memiliki anggaran cukup besar.

Adapun, Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) Iskandar Abubakar mengatakan Pemprov DKI Jakarta sebaiknya menetapkan harga tiket MRT dan LRT Jakarta berdasarkan jarak tempuh. Sistem tarif flat atau tidak memperhitungkan jarak tempuh justru tidak mendidik masyarakat.

Flat fare itu menyebabkan orang tidak berpikiran soal biaya transportasi yang dia keluarkan, dia akhirnya cari tempat tinggal yang murah. Akhirnya nanti tempat tinggalnya jauh, kota akhirnya melebar, dan ketika pendapatannya meningkat, dia akan beli mobil pribadi,” kata Iskandar.

Anggota Komisi C DPRD DKI Jakarta Ruslan Amsyari juga menyarankan agar MRT dan LRT Jakarta digratiskan terlebih dahulu selama 3 bulan untuk meningkatkan animo masyarakat serta mengukur ridership dari kedua moda transportasi itu.

PERTIMBANGAN SURVEI

Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai penetapan tarif MRT dan LRT menjadi dilema tersendiri bagi Pemprov DKI Jakarta karena tidak didukung oleh kajian dan perencanaan yang matang.

Ketika tarifnya terlalu tinggi, risikonya tidak laku. Kalau terlalu murah, bagus tapi subsidinya terlalu besar. Masalahnya Pemprov DKI punya uang tidak subsidi itu dan sampai batas waktu kapan.”

Dia menegaskan tarif-tarif yang disebutkan oleh Pemprov DKI tersebut harus berdasarkan pertimbangan hasil survei availability to pay (ATP) dan willingness to pay (WTP) dan mencari titik kesetimbangan di antara keduanya, bukan penetapan tarif secara politis.

Hal senada juga diungkapkan oleh ekonom Indef Bhima Yudhistira. Dia menuturkan penetapan tarif ini memang dilematis. Jika terlalu mahal, break even point (BEP) akan lama. Padahal, investasi MRT dan LRT sangat mahal.

Strateginya dengan mendorong penjualan service lainnya, misalnya iklan di stasiun, tenant, booth dan ruang ritel lainnya untuk menutup operasional.”

Cara-cara bisnis dengan model ruang pengembangan ritel ataupun pengembangan transit oriented development (TOD) yang memanfaatkan konektivitas stasiun dan area sekitarnya, seperti apartemen, mal dan Central Business District (CBD) sudah banyak dilakukan di negara maju.

Solusi lainnya untuk mengurangi beban tarif subsidi, pemerintah pusat dan pemerintah DKI Jakarta dapat melakukan subsidi bersama. Bhima menuturkan skema ini sudah dipakai untuk LRT di Palembang.

Adapun, Country Director Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Indonesia Yoga Adiwinarto menuturkan dengan adanya MRT dan LRT, Indonesia telah mengalami lompatan besar dalam penggunaan transportasi massal. Sayangnya, lompatan itu belum disertai kebiasaan masyarakat menggunakan moda transportasi massal tersebut.

Di sisi lain, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan optimistis tarif finalisasi tarif bisa dilakukan sebelum waktu operasional kedua moda transportasi tersebut.

Anies juga menegaskan bahwa pengadaan transportasi umum bukanlah untuk mencari untung, melainkan guna memecah kemacetan dan mendorong pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta. “Keuntungannya dari biaya ekonomi akibat kemacetan berkurang, itulah keuntungannya.”

Sementara itu, Ketua Komisi C DPRD DKI Jakarta Santoso menilai alokasi subsidi yang diusulkan Pemprov terlalu tinggi dan seharusnya digunakan untuk menyubsidi kebijakan-kebijakan lain yang lebih penting.

Lebih lanjut, narasi transportasi umum bersubsidi juga harus dibangun lebih baik, dengan membentuk fokus pada pertambahan jumlah penumpang, bukan dengan membagi setiap penumpang mendapatkan subsidi seberapa besar

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Sutarno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper