Bisnis.com, JAKARTA – Dalam paparan Pemprov DKI Jakarta di hadapan Komisi C DPRD DKI Jakarta, ditemukan bahwa survei willingness to pay (WTP) yang digunakan oleh Pemprov DKI Jakarta untuk menentukan tarif MRT sudah berumur lima tahun yang surveinya diselenggarakan 2014 lalu.
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi pun mengatakan seharusnya pemprov DKI Jakarta menggunakan survei terbaru atas WTP masyarakat.
Lebih lanjut, dalam jangka waktu lima tahun tersebut perilaku dan kemampuan konsumen pasti sudah berubah sehingga lebih baik dilakukan survey ulang.
"Selama lima tahun sudah terjadi inflasi, perubahan kurs rupiah, serta kenaikan UMP. UMP sudah cukup tinggi dari 2014 sehingga angka tersebut sudah tidak relevan," kata Tulus kepada Bisnis, Senin (18/3/2019).
Di satu sisi, apabila angka WTP ATP naik maka angka PSO yang digelontorkan pun juga bisa ditekan. Tulus pun mengatakan PSO yang diusulkan atas penggunaan MRT pun terlalu tinggi.
"Walaupun semua angkutan umum di dunia itu disubsidi tetapi kalkulasi yang disampaikan terlalu tinggi, mencapai 60% dari tarif. Biasanya subsidi itu 30% atau 35%," lanjutnya.
Untuk diketahui, tarif MRT ditentukan dengan mempertimbangkan willingness to pay (WTP) masyarakat yang berdasarkan survei ditemukan berkisar di antara Rp8.500 hingga Rp12.500.
Pemprov DKI Jakarta mengusulkan subsidi per penumpang sebesar 21.659 per penumpang dengan alokasi PSO sebesar Rp672,38 milliar untuk tahun 2019.
Dengan perhitungan tersebut, Pemprov DKI Jakarta pun mengusulkan tarif rata-rata sebesar Rp10 ribu per penumpangnya.