Bisnis.com, JAKARTA - Masjid Jami Al-Anwar atau Masjid Angke, berada di Kelurahan Angke, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat.
Kawasan yang saat ini dihuni mayoritas warga Indonesia peranakan China merupakan saksi sejarah dari pusat pembelajaran, literasi hingga strategi perang.
Di dekat kawasan masjid terdapat aliran Sungai Angke, yang maknanya masih menjadi perdebatan di kalangan ahli. Karena, sebagian sejarawan menyebut Angke berarti sungai yang sering banjir, tetapi ada yang mengartikan Angke sebagai sungai merah.
Istilah sungai merah pun merupakan rujukan pada Sungai Angke yang dikaitkan dengan peristiwa pembantaian orang-orang China pada 1740 oleh pasukan militer kolonial Belanda yang kemudian dicatat secara berulang.
Disebutkan bahwa sebagian orang-orang China yang selamat dari pembantaian itu kemudian melarikan ke wilayah yang disebut Angke.
Pengurus yang membidangi sejarah dan bangunan Masjid, Muhammad Abiyan Abdillah mengisahkan bahwa menurut cerita sejarah orang-orangtua, setelah pembantaian orang China pada 1740, sebagian besar dari mereka mengungsi ke kampung Angke dan dilindungi oleh penduduk yang sudah ada sebelumnya, yaitu warga yang menganut Hindu Bali dan Islam.
“Keberadaan arsitektur bangunan masjid itu sendiri yang mencerminkan keragaman etnis yang ada di Indonesia atau dulu disebut Nusantara sehingga, semua ini menjadi sebuah cerita sejarah maupun arsitektur yang sangat Bhinneka sekali. Kita anggap sebagai sebuah representasi kebhinekaan etnik yang ada di Indonesia,” kata Abdillah.
Abdillah mengungkapkan bahwa selain tempat ibadah, Masjid Angke sejak dahulu merupakan pusat belajar dan juga sebagai tempat pelatihan strategi peperangan sehingga, selain sebagai tempat penyebaran agama Islam juga diajarkan strategi peperangan. Bahkan, sejarah mencatat bahwa Makassar Arung Palaka pernah membawa pasukannya ke Angke untuk dilatih peperangan.
“Fungsi lantai atas dari masjid selain untuk keperluan azan juga untuk memantau musuh sampai sekarang masih dipertahankan juga,” jelasnya.
Keturunan ke-8 Kesultanan Banten ini menjelaskan bahwa pada saat itu situasi Jakarta setelah Proklamasi Kemerdekaan, tanggal 17 Agustus 1945, di lima wilayah Jakarta masih mengalami aneka ragam gejolak perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan 1945 dari serangan Belanda.
“Di kompleks masjid ini, para pemudanya sering melakukan pertemuan-pertemuan rahasia dalam mengoordinasi kegiatan menentang Belanda. Melalui khotbah-khotbah yang disampaikannya, para ulama melakukan provokasi untuk menentang Belanda,” tutur Abdillah.
Abdillah mengungkapkan bahwa Angke dijadikan tempat pelatihan perjuangan dari pemuda bangsa. Dari tempat yang agak tersembunyi ini disusun strategi perjuangan dalam menghadapi kekejaman serdadu-serdadu Belanda.
“Karena rapinya kegiatan-kegiatan dan aksi yang dilakukan oleh para pemuda daerah ini sehingga Belanda tidak dapat mencium kegiatannya. Dalam kondisi demikian, Masjid Angke terus memenuhi perannya sebagai tempat pengisian landasan perjuangan, benteng iman, dan ketakwaan umat Islam dalam menghadapi penindasan penjajah Belanda” ungkapnya.