Bisnis.com, JAKARTA — Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta menilai keluarnya Izin Mendirikan Bangunan atas 932 bangunan di Pulau Reklamasi D sebagai pelanggaran Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan terhadap perundang-undangan, terutama tentang tata ruang.
Anggota KSTJ, Marthin Hadiwinata yang juga Ketua Harian Kesaturan Nelayan Tradisional lndonesia (KNTI) tak bisa menerima alasan pihak Pemprov DKI bahwa IMB bisa terbit, karena PT Kapuk Naga Indah selaku pengembang telah menunaikan kewajibannya. Nama lokasi pun telah berubah menjadi Kawasan Pantai Kita dan Pantai Maju.
"Kami tetap konsisten untuk menuntut dibongkarnya pulau reklamasi yang sudah terbangun. Denda yang dibayarkan oleh pengembang hanya menjadi cara gubernur memutihkan pelanggaran tata ruang tersebut.” tegasnya dalam konferensi pers di kantor LBH Jakarta, Jumat (21/6/2019).
Jangankan soal penerbitan IMB di Pulau Reklamasi. Marthin mengungkap bahwa dalam kasus reklamasi secara umum pun, pihak Pemprov belum pernah mengikutsertakan masyarakat yang benar-benar terdampak, seperti nelayan di Teluk Jakarta.
Dalam kesempatan yang sama advokat LBH Jakarta Ayu Eza Tiara menjelaskan bahwa Pemprov DKI Jakarta tak memiliki landasan hukum yang kuat, bahkan cenderung cacat administrasi ketika menerbitkan IMB tersebut.
"Diperbaiki dulu tuh, step by step peraturan perundang-undangan yang harusnya disusun. Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil [RZWP3K] belum ada, Rencana Detail Tata Ruang-nya enggak ada, AMDAL Kawasan juga belum ada," ungkap Ayu.
"Kalau awalnya saja sudah bermasalah, terus terbit [IMB], maka cacat administrasi dan kemudian ke depannya pasti akan menjadi masalah," tambah Ayu.
Seperti diketahui, sebelumnya Gubernur Anies Baswedan menyatakan bahwa Pergub No 206/2016 merupakan salah satu landasannya dalam menerbitkan IMB di Pulau Reklamasi D atau Kawasan Pantai Maju.
Sementara, RZWP3K dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta sedang dibahas di DPRD.
Kendati demikian, menurut Ayu Pergub bukanlah aturan tata ruang. Bahkan, Pergub sebenarnya tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan bisa dicabut. Sehingga, tandas Ayu, seharusnya pemerintah memprioritaskan penyelesaian landasan hukum yang lebih kuat.
Oleh sebab itu, Ayu menyatakan seharusnya Pemprov menentukan terlebih dahulu peruntukan Pulau C dan Pulau D kemudian menentukan tata ruang bagi pulau tersebut.
“Kajian yang dijanjikan oleh Gubernur Anies sampai saat ini belum selesai dan Gubernur belum menentukan sikap kelanjutan pulau-pulau yang sudah terbangun, termasuk pilihan untuk membongkar pulau-pulau tersebut” ujar Ayu.
Senada dengan Ayu, Peneliti Divisi Pesisir dan Maritim Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Angela Vania Rustandi mengungkap bahwa sebelum terbitnya IMB, kejelasan apakah bangunan yang ada di Pulau C dan Pulau D sudah memiliki AMDAL dan izin lingkungan pun belum ada.
“Masyarakat yang tinggal di Teluk Jakarta harus dilibatkan dalam penyusunan AMDAL dan penerbitan izin lingkungan pembangunan bangunan Pulau C dan D," ujar Vania.
"Tanpa adanya AMDAL dan izin lingkungan, IMB tidak boleh terbit. Sebelumnya Koalisi telah mengajukan keberatan terhadap perubahan izin lingkungan Pulau C, D dan Pulau G," tambah Vania.
Atas dasar itulah, KSTJ meminta Pemprov Jakarta mencabut lMB bangunan di Pulau C dan D dan membongkar pulau reklamasi yang telah terbangun dengan memperhatikan keberlanjutan lingkungan hidup dan masyarakat luas terutama nelayan di Teluk Jakarta.