Bisnis.com, JAKARTA - Pola penanganan pengungsian korban banjir dinilai masih menjadi masalah karena banyak korban yang diungsikan di area kosong tetapi tidak aman.
Giwo Rubianto Wiyogo, Ketua Pelaksana Harian DPP ISIKKI-IHEA (Ikatan Sarjana Ilmu Kesejahteraan Keluarga Indonesia – Indonesia Home Economic Association), mengungkapkan fakta itu diperparah dengan kondisi di pengungsian. Masih banyak perempuan dan anak yang tidak mendapatkan layanan kebutuhan spesifiknya.
"Bantuan banyak bernuansa orang dewasa daripada anak-anak. Hal ini mengakibatkan anak di pengungsian rentan penyakit. Pendidikan juga masih terkendala," ujarnya dalam keterangan pers, Senin (27/1).
Dia menjelaskan anak sering belum mendapatkan pendidikan layanan khusus sebagaimana yang dimandatkan undang-undang.
"Kondisi ini sebagai bentuk betapa penanganan korban bencana diperlukan pola yang komprehensif. "
Menurut Giwo, perempuan dan anak merupakan korban paling rentan, baik sebagai korban maupun potensi korban. Saat korban banjir datang , umumnya perempuan dan anak secara pribadi riskan tidak bisa menyelamatkan diri secara cepat. Mereka memerlukan bantuan dari laki-laki dewasa.
Dia mengungkapkan korban bencana memerlukan area pengusian yang steril dari kemungkinan potensi banjir.
"Jangan sampai, korban banjir diungsikan di daerah kosong dan di pinggir jalan raya, yang berpotensi banjir dan berpotensi menimbulkan bahaya bagi korban. Pola layanan seperti ini tentu salah besar dalam konteks penanganan banjir," kata Giwo yang juga Wakil Ketua Umum I PP KPPG (Pimpinan Pusat Kesatuan Perempuan Partai Golkar) itu.
Oleh karena itu, sambungnya, paling tidak pemerintah pusat dan Pemprov DKI Jakarta perlu menempuh lima upaya terkait dengan penanganan korban banjir.
Pertama, bencana banjir di DKI harus ditangani secara utuh, baik psikososialnya, aspek keamanannnya, aspek logistic kebutuhan spesifiknya, serta upaya pencegahan agar mereka tidak menjadi korban berikutnya.
Kedua, banjir DKI bukan kejadian pertama, tetapi ritual tahunan, sehingga diskusi pola penanganan seharusnya selesai sebelum adanya banjir datang.
Ketiga, Pemerintah DKI harus memiliki strategi pola pencegahan banjir, jangka panjang, menengah dan pendek. Dengan harapan, kinerja pencegahan banjir dapat terukur dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Keempat, perempuan dan anak harus “mendapatkan treatment khsusus” dalam konteks penanganan bencana banjir. Apalagi perempuan dan anak memiliki kebutuhan spesifik yang harus dipenuhi.
Kelima, pemenuhan hak dasar lain seperti kesehatan dan pendidikan perlu dilakukan dengan pola layanan khusus, sehingga anak korban banjir tetap mendapatkan layanan kesehatan dan pendidikan yang memadai.