Bisnis.com, TANGERANG--Menyoal topik benih bersertifikat yang tak selalu dipakai petani, Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) berpendapat memang tidak tertutup kemungkinan benih yang sudah disertifikasi ternyata kualitasnya kurang baik.
Ketua Umum KTNA Winarno Tohir mengatakan masalah kualitas ini bisa disebabkan lantaran benih ada masa kadarluasanya. Menurutnya, dalam proses distribusi kemungkinan daerah-daerah remote sukar dijangkau.
Walhasil pada saat si benih sampai ternyata semakin mendekati masa kadarluasa. Tapi Winarno berpendapat semestinya kondisi seperti ini tidak terjadi.
“Sebetulnya ada jaminan dari distributor kalau ada benih yang kualitasnya jelek, bisa diklaim ke perusahaan yang keluarkan asal labelnya jangan hilang,” ucap dia kepada Bisnis.com, Jumat (4/12/2015).
Memang tidak ada salahnya menggunakan benih yang tidak disertifikasi pemerintah. Belum tentu apa yang dihasilkan sendiri oleh kelompok tani kualitasnya kalah. Tapi yang pasti, benih yang diproduksi sendiri hanya bisa digunakan petani dalam ruang lingkup yang terbatas.
Winarno menjelaskan tahun depan luas area tanam diperkirakan mencapai 14,8 juta hektare di seluruh Indonesia. Benih yang dikeluarkan produsen benih hanya mencukupi sekitar 12 juta hektare saja. Dengan kata lain ada 2 juta ha yang belum tercakup.
Winarno berpendapat luas tersebut menjadi peluang bagi para kelompok usaha tani yang melakukan penangkaran benih sendiri.
“Cuma nanti bisa ada kendala di pembayaran. Petani akan minta waktu bayarnya sekitar empat bulan yang akan datang, sedangkan kalau benih subsidi langsung dibayar,” ucapnya.
KTNA menyatakan sejauh ini ada 1.000 desa penghasil penih. Diharapkan pada tahun-tahun mendatang mereka bisa bekerja sama dengan BUMN produsen bennih agar produksinya lebih optimal. Yang pasti, Winarno mengakui tidak selalu benih yang dihasilkan sendiri oleh petani kalah kualitas daripada benih subsidi dari pemerintah.
Sepanjang tahun ini pemerintah mengalokasikan Rp939,4 miliar untuk benih bersubsidi. Ini dibagi empat, yakni untuk padi inbrida 98.500 ton seluas 3,9 juta ha dan padi hibrida 1.500 ton untuk 100.000 ha. Ada pula 1.500 ton jagung hibrida dengan lahan 100.000 ha dan 15.000 ton benih kedelai untuk area seluas 300.000 ha.
Penyaluran benih tersebut dimaksudkan pemerintah untuk mengurangi beban biaya produksi yang ditanggung petani. Dengan demikian penghasilan mereka bertambah sehingga daya belinya meningkat. Melalui suplai benih subsidi inbrida, misalnya, petani cuma perlu bayar Rp3.050 per kg padahal harga nonsubsidinya mencapai Rp9.000 per kg.
Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan penyaluran benih padi dari pemerintah memang tidak efektif. Ini sejalan dengan yang dikemukakan AB2TI bahwa dua BUMN yang ditunjuk, SHS dan Pertani, tidak dipercaya petani.