Bisnis.com, BEKASI – Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Bekasi, Jawa Barat mengimbau warga mewaspadai berita bohong atau hoaks yang beredar terkait proses pembebasan lahan untuk depo Light Rapid Trans (LRT) Jabodebek di wilayahnya.
"Saya minta warga tidak mudah terhasut dengan berbagai isu, terutama isu pembangunan. Soalnya tidak sedikit pembangunan yang terhambat lantaran banyaknya isu yang beredar di masyarakat, namun belum tentu kebenarannya," kata Kepala Kantor BPN Kabupaten Bekasi Deni Santo saat menemui puluhan warga Kelurahan Jatimulya Kecamatan Tambun Selatan yang berunjuk rasa di depan Kantor BPN Kabupaten Bekasi di Cikarang Selatan, Senin (22/10/2018).
Deni mengatakan, puluhan warga itu mempertanyakan proses pembebasan lahan untuk pembangunan depo LRT Jabodebek yang mendengar adanya perluasan lahan yang dibebaskan.
"Kami menjelaskan, memang betul terkait dengan pembangunan depo LRT di Kelurahan Jatimulya. Tapi soal titiknya kan sudah disampaikan dengan total 10,5 hektare. Kami sangat mengapresiasi warga yang datang untuk meminta penjelasan, jangan sampai percaya dengan informasi yang simpang siur," katanya.
Deni menampik informasi yang diterima warga bahwa pembebasan LRT meluas hingga 14 hektare dan akan dibangun berbagai fasilitas penunjang.
"Sebetulnya proses pembebasan lahan sudah kami sampaikan melalui berbagai kesempatan,terutama saat sosialisasi. Mungkin ada yang belum jelas atau seperti apa, makanya mereka datang. Dan hal baik mereka mau bertanya langsung pada dari pada larut dalam hasutan," katanya.
Menurut dia, hasutan pada masyarakat yang berkenaan langsung dengan pembangunan memang kerap terjadi, dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab yang berusaha mencari keuntungan. Namun sayangnya hasutan tersebut sering kali dipercaya masyarakat sehingga mereka tidak mempercayai pemerintah.
"Kondisi ini sering terjadi dan banyak ditemukan masyarakat yang terkena hasutan. Saya berharap masyarakat tidak mudah percaya dengan informasi yang belum tentu benar. Jika memang ada yang ditanyakan atau masih bingung, tanyakan pada petugas resmi. Jika itu menyangkut lahan dan pembebasannya dapat tanyakan ke kami," katanya.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum menyatakan bahwa segala proses pembebasan lahan dilakukan secara transparan. Proses pengukuran tanah hingga penghitungan nilai ganti rugi pun dilakukan oleh tim independen demi keadilan.
"Agar diketahui oleh masyarakat, segala prosesnya dilakukan secara terbuka. Penghitungan pun dilakukan tidak hanya luas tanah maupun bangunan namun yang ada di atasnya. Seperti tanaman yang tumbuh, dihitung nilainya sampai apakah ada usaha atau tidak. Kalau misalkan ada warung, dihitung juga nilai ekonominya. Sehingga di sini negara tidak ingin merugikan warganya," katanya.
Saat ini proses ganti rugi lahan LRT di Jatimulya telah masuk tahap musyawarah, bahkan beberapa pemilik lahan telah menyetujui nilai yang ditawarkan.
"Kami tadi menyampaikan bahwa jika ada yang ditanyakan bisa ditanyakan pada saat musyawarah, jangan sampai juga pemilik lahan tidak tahu yang dibebaskannya, kami juga tidak mau," katanya.
Sementara perwakilan warga Jatimulya yang juga Ketua Forum Komunikasi Kampung Jati Terbit (FKKJT), Irwanto Silalahi mengakui kedatangan mereka lantaran ada berbagai informasi yang beredar di lingkungan mereka soal pembebasan lahan.
"Selama ini kami bingung, informasi yang didapatkan atas pembebasan lahan Depo LRT ada yang bilang 14 hektare, 11 hektare dan lainnya. Makanya kami ke sini. Kalau misalkan ada perluasan, kenapa lahan kami tidak dihitung. Tapi ternyata keliru," katanya.
Dia menambahkan, warga selama ini kurang paham tentang tahapan pembebasan lahan, terlebih mereka memilih tidak hadir tiap kali diundang karena takut nilainya tidak sesuai.
"Tapi tadi disampaikan bagaimana tahapannya. Dan informasi ini sebenarnya yang selama ini kami ingin tahu. Kepala BPN pun akhirnya berani memberi surat pernyataan dan ditandatangani, ini menjadi dasar bagi warga yang tinggal di sana bahwa proyek itu benar," ujar Irwanto.