Bisnis.com, JAKARTA – Meniru MRT yang terdapat di Hong Kong, Direktur Keuangan PT MRT Jakarta Tuhiyat mengatakan secara jangka panjang menargetkan pendapatan non-fare box atau pendapatan non-tiket sebesar 70% dari keseluruhan pendapatan.
"Pendapatan non-fare box pun bersumber dari kerja sama dengan ritel, telekomunikasi, periklanan, serta naming rights dari stasiun-stasiun MRT," kata Tuhiyat, Minggu (24/3/2019)
Terkait pendapatan melalui naming rights stasiun, stasiun-stasiun yang penamaannya sudah berkontrak dengan mitra terkait adalah Stasiun Dukuh Atas BNI, Stasiun Setiabudi Astra, Stasiun Istora Mandiri, dan Stasiun Sisingamangaraja Asean.
Untuk Stasiun Sisingamangaraja Asean, penamaan dari stasiun tersebut diberikan secara gratis kepada Asean atas permintaan pemerintah pusat dengan tujuan diplomatik.
"Ada satu yang belum perjanjian kerja sama tapi sudah hampir dipastikan yaitu Stasiun Lebak Bulus Grab, [stasiun] lainnya dalam proses," kata Direktur Keuangan PT MRT Jakarta Tuhiyat sebelumnya, Jumat (22/3/2019).
Kontrak naming rights antara PT MRT Jakarta dengan mitra terkait memiliki jangka waktu lima tahun dengan opsi perpanjangan kontrak lima tahun.
Menurut Tuhiyat, nilai kontrak dari naming rights masing-masing stasiun berbeda-beda tergantung letak dan besar dari stasiun tersebut.
"Dukuh Atas tentu beda dengan Bendungan Hilir karena Dukuh Atas itu hub. Saya tidak bisa memastikan berapa keseluruhan karena ini harus kita verifikasi oleh tim," lanjut Tuhiyat.
Kedepannya, Tuhiyat menerangkan pihaknya akan berfokus untuk memperoleh pendapatan non-fare box melalui pengelolaan kawasan transit oriented development (TOD).
Mengacu pada Peraturan Gubernur (Pergub) No. 140/2017, PT MRT Jakarta ditugasi untuk mengelola kawasan TOD di wilayah stasiun MRT fase 1 mulai dari Lebak Bulus hingga Bundaran HI.
Pada 2019, pendapatan non-fare box ditargetkan mencapai Rp100 milliar, sedangkan pendapatan melalui tiket diproyeksikan mencapai Rp180 milliar yang dihitung mulai 1 April 2019.
Untuk diketahui, biaya yang diperlukan untuk mengoperasikan MRT fase 1 dari Lebak Bulus hingga Bundaran HI yang direncanakan akan beroperasi pada akhir Maret 2019 adalah sebesar Rp625,9 milliar.
Angka tersebut didapat dari akumulasi biaya modal untuk mengoperasikan MRT dalam waktu satu tahun adalah sebesar Rp73,62 milliar yang terdiri dari penyusutan rollingstock serta AFC system.
Angka ini masih ditambah lagi dengan biaya operasi dan perawatan sarana MRT yang masing-masing sebesar Rp490,9 milliar dan Rp4,4 milliar.
Adapun biaya operasi dan perawatan prasarana mencapai Rp192 miliiar.