Bisnis.com, JAKARTA - Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Stefanus Ridwan mengatakan diperlukan perubahan rencana detail tata ruang (RDTR) agar kerja sama pengembangan kawasan transit oriented development (TOD) yang ditugaskan kepada PT MRT Jakarta bisa saling menguntungkan.
Apabila Pemprov DKI Jakarta bisa segera menyesuaikan RDTR dengan pengembangan kawasan TOD yang diikuti dengan peningkatan nilai properti, Stefanus yakin akan banyak pihak yang ingin berkontribusi dalam pengembangan kawasan TOD yang ditugaskan kepada PT MRT Jakarta.
Insentif-insentif bagi pengembang juga perlu dipersiapkan oleh Pemprov DKI Jakarta agar PT MRT Jakarta memiliki daya tawar ketika menawarkan kerja sama pengembangan kawasan TOD.
"Jadi nanti PT MRT Jakarta mendapatkan pemasukan dari situ, tapi harus ada perubahan RDTR dulu, kalau tidak mendukung ya percuma," kata Stefanus kepada Bisnis, Senin (1/4/2019).
Untuk diketahui, pengembangan kawasan TOD harus sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam Perda No. 1/2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Perda No. 1/2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi (RDTR-PZ) serta harus berdasarkan pada panduan rancang kota (PRK) yang disusun di bawah koordinasi Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan (DCKTRP).
Berhubung Pemprov DKI Jakarta masih belum mengeluar PRK dari kawasan TOD, maka PT MRT Jakarta pun masih belum dapat menyiapkan business model dari pengembangan kawasan TOD yang ditugaskan.
PT MRT Jakarta pun mendapatkan tugas untuk mengelola beberapa kawasan TOD MRT fase 1 mulai dari Lebak Bulus hingga Bundaran HI.
Adapun kawasan TOD yang dimaksud adalah Kawasan TOD Bundaran HI, Dukuh Atas, Setiabudi, Bendungan Hilir, Istora, Senayan, Blok M, dan Lebak Bulus.
Pengembangan TOD ditugaskan kepada PT MRT Jakarta dimaksudkan agar menjadi sumber pendapatan non-fare box dan memberikan nilai tambah bagi kawasan.
Pendapatan non-fare box atau pendapatan non-tiket tersebut diperlukan mengingat besarnya biaya yang diperlukan untuk mengoperasikan prasarana MRT, sedangkan berdasarkan Permenhub No. 7/2018 prasarana tidak termasuk dalam komponen perhitungan tarif.
Adapun biaya operasi dan perawatan prasarana yang diperlukan mencapai Rp192 miliar, sedangkan pendapatan non-fare box sendiri ditargetkan mencapai Rp100 milliar pada 2019.
Sesuai dengan pasal 7 Pergub No. 140/2017, PT MRT Jakarta dapat bekerja sama dengan pemerintah, swasta, dan masyarakat dengan mengikuti kaidah bisnis yang baik dalam rangka memastikan terwujudnya pengembangan TOD.
Sebelumnya, Pemprov DKI Jakarta mewacanakan perubahan Perda No. 1/2012 tentang RTRW dan Perda No. 1/2014 tentang RDTR-PZ. Namun, hingga saat ini perubahan dari kedua regulasi tersebut belum terealisasi.
Adapun yang menjadi tujuan dari perubahan kedua regulasi tersebut adalah untuk meningkatkan koefisien lantai bangunan (KLB) terutama di wilayah yang direncanakan sebagai kawasan TOD.