Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

DKI Optimalkan Pengadaan Hunian Murah Lewat Utang Pengembang

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebenarnya memiliki kemampuan membangun perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) secara cuma-cuma, memanfaatkan utang kontribusi pembangunan dari para pengembang.
Ilustrasi rumah murah/Istimewa
Ilustrasi rumah murah/Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebenarnya memiliki kemampuan membangun perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) secara cuma-cuma, memanfaatkan hutang kontribusi pembangunan dari para pengembang.

Kepala Unit Fasilitas Pemilikan Rumah Sejahtera Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Dzikran Kurniawan menjelaskan bahwa pihaknya memang mendorong pengadaan unit MBR lewat program bertajuk Solusi Rumah Warga (Samawa) atau yang sebelumnya disebut Rumah DP Nol Rupiah dari para pengembang swasta.

"Pada prinsipnya, tugas kita membantu pembiayaan perumahan untuk warga Jakarta. Pengembang yang ingin membangun atau tengah menyelesaikan kewajiban pembangunan rusun, ikuti saja aturan yang sudah ada. Tugas kami nanti menyeleksi, merekomendasikan masyarakat yang butuh hunian dan dianghap mampu membayar sesuai kemampuannya," ujarnya kepada Bisnis, Senin (18/11/2019).

Dzikran menjelaskan bahwa Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) yang dipimpinnya ini memiliki target menggelontorkan besaran kredit uang muka Rumah Samawa sebesar Rp350 miliar pada 2019 dan Rp2 triliun pada 2020.

Oleh sebab itu, banyaknya pengembang swasta yang berkontribusi, diharapkan mampu ikut mendongkrak realisasi target pembangunan perumahan sebanyak 218.214 unit melalui mekanisme Kerja sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2017-2022.

Direktur Eksekutif Jakarta Property Institute (JPI) Wendy Haryanto menjelaskan bahwa kemampuan ini sebenarnya memiliki dasar hukum kuat, yang tercantum dalam Peraturan Gubernur No 112/2019 tentang Tata Cara Pemenuhan Kewajiban Pembiayaan dan Pembangunan Rumah Susun Murah/Sederhana (RSM/S) melalui Konversi oleh Para Pemegang Izin Pemanfaatan Ruang (IPR).

Wendy menjelaskan bahwa metode konversi ini sebenarnya pintu masuk ideal yang akan menguntungkan kedua belah pihak. Seperti diketahui,

"Karena untuk pengembang melaksanakan kewajiban, kendala di lapangan itu ada saja. Misalnya, kita diminta kontribusi buat jalan, ternyata lahannya sudah jadi kampung, atau misalnya diminta melebarkan jalan, ternyata ada perumahan milik perusahaan negara. Hal-hal semacam itu lah. Jadi hutang yang terkendala ini sebenarnya potensial dikonversi oleh Pemprov untuk pengadaan rumah susun MBR," ujarnya kepada Bisnis, Minggu (17/11/2019).

Namun, Wendy menyayangkan eksekusi dari regulasi ini yang tampak belum optimal. Menurutnya, hal ini akibat lemahnya inisiatif dan minimnya koordinasi antara kedua belah pihak.

Beberapa faktor yang membuat eksekusi regulasi ini terhambat. Di antaranya, karena tak ada koordinator pemegang otoritas yang bisa menjadi jembatan antara Pemprov dengan para pengembang.

"Dalam beleid peraturan ini, beberapa pengembang atau pemegang IPR itu bisa membangun bersama-sama [konsolidasi] untuk membangun rusun. Ini sudah ideal. Tapi masalahnya, metodenya harus lewat pengajuan dari kita [pengembang]. Mana bisa jalan. Hutang kita kan bentuk dan nominalnya berbeda-beda. Harusnya ada unsur Pemprov yang mengkoordinasikan," tambahnya.

Selain itu, menurut Wendy Pemprov perlu mengklasifikasi ulang hutang para pemegang IPR dengan mempertimbangkan besaran kontribusi dan kondisi perusahaan. Harapannya, pengelompokan para pengembang sejenis mampu membuat eksekusi pembangunan lebih cepat.

"Karena begini, perlu dipahami bahwa tidak semua kontraktor punya skill atau expert di bidang pembangunan rusun. Kalau ada koordinator dari pihak Pemprov, nanti mereka bisa langsung mengeksekusi, buat tender khusus kontraktor rusun dengan biaya dari hutang-hutang kita. Jadi pemanfaatan potensi ini memang perlu kreativitas lebih," jelas Wendy.

Terakhir, Pemprov mesti memiliki rencana yang jelas terkait ketersediaan tempat-tempat aset berupa lahan yang bisa dibangun. Selain itu, perlu ada ketegasan lebih terkait penagihan kontribusi kepada pengembang 'nakal' yang menunda-nunda kewajibannya.

Harapannya, optimalisasi dan kolaborasi terkait dengan regulasi ini mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi sektor properti di DKI Jakarta.

"Sektor properti itu mampu membangkitkan setidaknya 179 jenis usaha lain, terutama perusahaan material. Kampung kota di lahan milik Pemprov atau lahan-lahan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang masih kosong pun bisa dimanfaatkan menjadi hunian vertikal. Dampak ekonominya akan besar sekali," tutupnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Aziz Rahardyan
Editor : Rustam Agus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper