Bisnis.com, JAKARTA - Apapun nama dan istilahnya, entah normalisasi atau naturalisasi, proyek penanganan dan pelebaran sungai di Ibu Kota perlu terus berproses.
Begitu kiranya ungkapan tersirat Presiden RI Joko Widodo selepas melakukan rapat bersama para kepala daerah yang punya kapasitas mengatasi banjir di wilayah Jabodetabek.
Lantas, bagaimana sebenarnya cara melihat secara objektif perang wacana normalisasi dan naturalisasi sungai? Apakah mungkin keduanya dikombinasikan dan dijalankan secara beriringan?
Bisnis coba merangkumnya dari berbagai sumber, berikut penjelasannya:
Ideal vs Realistis
Wacana yang kerap muncul di kalangan awam menganggap bahwa naturalisasi merupakan konsep yang lebih ideal, sebab menyediakan ruang terbuka hijau dan mengembalikan keberagaman biota sungai.
Namun, normalisasi lebih realistis, di tengah padatnya okupansi bantaran sungai sebagai tempat tinggal, dan sulitnya membebaskan lahan di kawasan tersebut. Eksekusi naturalisasi sungai dianggap lebih sulit akibat luasnya kebutuhan lahan di sepanjang sempadan sungai.
Ahli Perencanaan Kota dan Wilayah dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Jehansyah Siregar mengakui bahwa wacana tersebut tak sepenuhnya salah.
Oleh sebab itu, di tengah semakin minimnya lahan resapan air di Ibu Kota akibat pembangunan, Jehan menekankan bahwa penataan kawasan merupakan kunci segala-galanya.
Menurut Jehan, naturalisasi ala Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan merupakan kunci menambah ruang terbuka hijau (RTH) di sepanjang sempadan sungai.
"Kalau 13 sungai di Jakarta dinaturalisasikan kanan-kiri 50 meter, bisa meningkatkan RTH,” ungkapnya ketika dikonfirmasi Bisnis, Jumat (10/1/2020).
Menurut Jehan pemerintah harus mengendalikan pemanfaatan ruang melalui operasi-operasi pengendalian penghunian yang tidak semestinya (squatter control). Diperlukan tindakan aktif melakukan operasi pengendalian ruang di lapangan dan harus dilakukan di berbagai sektor dan instansi pemerintah terkait.
Oleh sebab itu, menurut Jehan, Indonesia harus memiliki badan otoritas semacam Badan Penataan Kota yang bekerja berdasarkan prinsip-prinsip pembangunan kota berkelanjutan yang prorakyat, prolingkungan dan propertumbuhan ekonomi.Badan tersebut seperti Urban Redevelopment Authority di Singapura atau Urban Renaissance Agency di Jepang.
Kecepatan Eksekusi
Sementara itu, ahli Meteorologi ITB Armi Susandi menawarkan solusi moderat. Menurutnya, normalisasi dan naturalisasi sungai bisa dilaksanakan beriringan.
Nyatanya, kawasan sekitar sungai yang belum dilakukan penanganan pelebaran sungai dan penambahan tanggul memang lebih banyak tergenang banjir.
"Sebagai awalan, di hulu naturalisasi, di hilir normalisasi. Kalau tidak kita akan berdebat terus, ini akan butuh waktu dan lahan. Sungai di Korea, betul sudah melakukan naturalisasi tapi proses awalnya normalisasi dulu, perbaiki lingkungannya, baru terakhir [diperluas area sempadan] naturalisasi,” ungkap Armi.
Demi kecepatan eksekusi kebijakan, Engineer Hidrologi Universitas Indonesia Indri Mahadiraka mengungkap hal serupa dalam diskusi bersama DPRD DKI Jakarta Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Jumat (10/1/2019).
"Jadi sebenarnya kita gak haus memilih antara keduanya karena tujuannya untuk mengalirkan air ini, mengembalikan fungsi sungainya lah. Keduanya baik namun memiliki prasyarat masing-masing. Kenapa kita tidak menyesuaikan kondisi sungai seperti apa, cocoknya pakai apa, itu yang kita lakukan. Jadi tidak harus memilih salah satu," ungkap Indri.
Menurutnya, naturalisasi harus didukung dengan area yang drainasenya sudah bagus, sistemnya berjalan, airnya lancar. Clearing flat plain sungai pun harus benar-benar mantab, sebab naturalisasi mengedepankan kondisi alami tanah.
"Jadi kembali ke Pemerintah, sih. Daerah mana yang lebih cocok ke normalisasi atau naturalisasi, karena keduanya sama bagus," tambahnya.
Desain dan Biaya Total
Walaupun upaya betonisasi dalam normalisasi sungai tampak lebih mahal, sesungguhnya biaya total naturalisasi dengan batu beronjong, luasan kebutuhan lahan, dan beragam perawatan kawasan terbuka, akan berdampak pada lebih banyaknya biaya yang keluar secara jangka panjang.
Selain itu, normalisasi diiringi dengan penggantian lahan dan relokasi penduduk seperlunya saja, yaitu sebanyak satu jalur deretan rumah-rumah yang berada paling pinggir. Sedangkan naturalisasi, menuntut adanya penataan permukiman yang lebih luas dan komprehensif.
Namun, Sahroel Polontalo, aktivis Komunitas Ciliwung Depok (KCD) mengungkap pendapat baru bahwa perdebatan antara metode normalisasi dan naturalisasi dalam penanganan Sungai Ciliwung sebenarnya tak substansial. Normalisasi sungai sebenarnya naturalisasi juga apabila sesuai kaidah.
Mantan anggota Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air (TKPSDA) ini mengkritisi desain normalisasi besutan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) terkait pemanfaatan sempadan sungai sebagai jalan beton.
"Tidak ada jalan beton di sempadan. Karena merupakan kawasan lindung, sempadan harus dibiarkan hijau dengan vegetasi permanen seperti RTH," jelasnya kepada Bisnis, Jumat (10/1/2019).
Sahroel menjelaskan bahwa desain normalisasi sungai kini, yang memiliki penambahan tanggul di tepi palung sungai, kemudian membuat sempadan sebagai jalan inspeksi yang bisa dilewati kendaraan perlu direvisi.
Menurut Sahroel, hal itu membuat fungsi sempadan sungai sebagai penyangga ekosisten yang menjamin kelestarian dan fungsi sungai, serta menjaga masyarakat dari bahaya bencana di sekitar sungai, menjadi tak optimal.
"Tanggul itu [di bibir palung sungai] hitung-hitungannya memang bisa menambah debit air hingga 570 m3/detik. Tapi kalau nyatanya lebih dari itu? Kan limpas juga. Makanya dulu ada istilah tanggul itu memberikan kenyamanan semu saja. Supaya masyarakat tenang," jelasnya.
"Jadi tanggul itu harusnya dipindah ke sisi luar sempadan, kemudian sepanjang sempadan itu jangan jalan beton, tapi pohon dan ruang terbuka. Ini kan sama saja naturalisasi. Jadi tidak usah diperdebatkan sebetulnya [konsep normalisasi vs naturalisasi]. Fungsi sempadannya saja ini dibetulkan, akhirnya kan natural juga," tambahnya.
Sahroel berpendapat, desain normalisasi sungai ala KemenPUPR tersebut sebenarnya melanggar aturan yang dibuat sendiri oleh pemerintah.
Apabila serius membuat desain ulang penanganan sungai yang benar-benar sesuai Permen PUPR 28 2015 tentang Sempadan sungai dan danau, sebenarnya hasil akhirnya akan sama dengan amanat Pergub DKI Jakarta No 31/2019 tentang naturalisasi.