Bisnis.com, JAKARTA - Komunikasi seakan jadi masalah besar buat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam menjalankan tugasnya belakangan ini.
Bukan hanya publik yang sulit mendapat kejelasan informasi akibat gaya 'irit bicara' Gubernur DKI. Dalam beberapa kesempatan, Anies bahkan harus berhadapan langsung dengan pemerintah pusat.
Misalnya, dalam menjelaskan proyek Naturalisasi Sungai dan Revitalisasi Monas. Terakhir, ide penyelenggaraan ajang balap mobil listrik Formula E di dalam Monas akhirnya ditolak.
Beberapa Fraksi DPRD DKI Jakarta malah menambahkan problem komunikasi Anies bukan hanya kepada pemerintah pusat, juga antara hubungan eksekutif-legislatif Kebon Sirih. Namun, mereka memaklumi nihilnya wakil gubernur menjadi salah satu faktor.
Pengajar Ilmu Jurnalistik dan Komunikasi Massa Universitas Padjadjaran Justito Adiprasetio berpendapat bahwa problem Anies sebenarnya juga banyak ditemui pada kepala daerah lain.
Menurut pria yang akrab disapa Tito ini, seorang kepala daerah memang punya beban menjelaskan program dan realisasinya secara terang.
Tito memberi contoh bagaimana Wali Kota London Shadiq Khan bisa menjadi salah satu gambaran ideal soal metode komunikasi pimpinan daerah ke masyarakat luas.
Sadiq Khan/unisonhablondon.co.uk
"Dia punya website yang baik, dikelola dengan baik. Coba buka london.gov.uk. Jadi kalau ada kritik adalah pada programnya atau pada proses implementasi programnya. Jakarta juga punya dan cukup di-update, tapi tidak sebaik London," ungkapnya kepada Bisnis, Jumat (7/2/2020).
Media komunikasi yang baik dari suatu birokrasi diharapkan efektif menekan disinformasi yang berkembang di masyarakat.
"Contohnya, soal naturalisasi sungai, kapan kita pernah diberi update progress di website-nya? Apakah sudah sedetail itu? Jadi wajar saja bila saat banjir, banyak orang berang pada pemerintah," tambah Tito.
Menurut Tito, bagaimana pun komunikasi adalah sendi utama dalam proses politik, sebagai jembatan penghubung kepala daerah dan masyarakatnya atau sebaliknya.
"Tapi tentu komunikasi mahal, seperti Januari ini Sadiq Khan dikritik karena meningkatkan budget buat press office-nya, dia dianggap menyepelekan anggaran yang lain dan malah memprioritaskan kerja ke-Public Relations-an pemerintahannya," ungkap Tito.
Oleh sebab itu, Tito menambahkan, problem komunikasi Anies pada dasarnya bukan hanya pada warga Jakarta, awak media, DPRD, atau bahkan pada pemerintah pusat. Toh, sejauh ini kerap terjadi miskoordinasi antara pemerintah kota/kabupaten dengan provinsi, lalu dengan pusat di berbagai wilayah.
"Kalau ada kepala daerah yang baik cara berkomunikasinya, biasanya dipuji karena individualisme-nya, dan ini sebenarnya salah. Karena komunikasi publik dari pemerintahan mestinya sistemik. Kita bisa ganti siapa pun kepala daerahnya, tapi medium komunikasi dan kritiknya harusnya bisa tetap atau bahkan lebih baik," tambah Tito.
Pilihan Politis
Ketika Anies mulai memimpin Ibu Kota, gaya komunikasi defensifnya memang kerap menuai kritik. Terlebih, apabila suatu masalah baru keluar, ketika realisasi program atau pembangunan yang dijalankan sudah separuh jalan.
Menurut catatan Bisnis, beberapa pengamat politik ketika itu menganggap karakter Anies memang dibangun sedemikian rupa sebagai antitesis gubernur sebelumnya.
Ya, Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok yang kendati kinerjanya banyak dipuji, kerap 'keseleo lidah' karena komentar-komentarnya dan kegemarannya menanggapi sesuatu dengan berapi-api. Akhirnya, keduanya memang sama riuhnya sebagai news maker.
"Kalau kita bicara komunikasi politik, memang ada karakter yang coba dibangun Anies dan ini jelas sama sekali berbeda dengan Ahok. Kalau dia meniru Ahok yang agresif, dia akan kalah. Kalau dia meniru Ganjar Pranowo [Gubernur Jawa Tengah] juga tidak akan pas," ungkap Tito.
Namun, Tito bisa memahami alasan Anies yang cenderung sedikit bicara. Menurut Tito, hal ini karena Anies kerap dihantui oleh jejak digitalnya sendiri, "Jadi, ketimbang salah bicara di satu waktu dan dihantam pada momen kemudian, dia cenderung diam."
"Ia tentu kemudian menjelaskan datanya via kanal lain, seperti media sosial misalnya atau oleh penyambung lidahnya di media sosial formal atau informal. Metode komunikasi Anies satu ini buruk karena tidak merepresentasikan dialog, padahal politik pada dasarnya harus dialogis," jelas Tito.
Di sisi lain, efektivitas metode komunikasi Anies memang terbukti mampu meredam kritik terhadap dirinya, "Karena biasanya memang yang menjadi bulan-bulanan kritik adalah pernyataan-pernyataan Anies yang sering dicuplik secara serampangan tanpa melihat konteks. Kasihan juga. Tapi kadang memang beliau memberikan pernyataan inkonsisten dan inkoheren," lanjut Tito.
Pada akhirnya, Tito sepakat dengan pendapat mayoritas anggota DPRD DKI Jakarta bahwa segera mengangkat wakil gubernur baru mampu menjadi solusi.
"Jadi beban komunikasi publiknya tidak ditanggung sendiri. Ada orang yang dapat mem-back up Anies untuk menjelaskan programnya, juga untuk melakukan banyak hal lain. Jakarta terlalu besar bila dia pikul sendiri sebagai Gubernur tanpa wakil," ungkap Tito.
Selain itu, menurutnya pemerintah harus lebih terbuka dengan menjelaskan secara utuh program-programnya, perencanaannya dengan narasi dan visualitas yang mudah dicerna masyarakat, baik awam maupun profesional.
"Sekali lagi, saya bilang ini tentu mahal, tapi harus dilakukan. Ini akan meningkatkan pemahaman sebenarnya apa yang sudah, telah, dan akan dilakukan pemerintah," ujar Tito.
"Tapi tidak berarti hal ini akan menghilangkan keributan, toh pada dasarnya keributan itu baik di alam demokrasi, apalagi buat pembangunan Jakarta. Hanya pada pemerintahan Soeharto saja, tidak ada keributan, kita takut mengritik pemerintahan," tutupnya.