Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Penanganan Virus Corona, Infrastruktur Kesehatan Jadi Kendala

Harus diakuit pemerintah masih perlu mengupayakan langkah sistematis dengan berbagai pihak untuk menghadapi pandemi infeksi virus corona (COVID-19).
Contoh mobile decontamination chamber (MDC) yang diterapkan di Vietnam./Dok. Istimewa
Contoh mobile decontamination chamber (MDC) yang diterapkan di Vietnam./Dok. Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah masih perlu mengupayakan langkah-langkah sistematis dengan berbagai pihak untuk menghadapi pandemi infeksi virus corona (COVID - 19).

Unggahan viral dari Fachri Muchtar, salah satu warga yang masih berstatus pasien dalam pengawasan (PDP) virus corona menggambarkan hal tersebut.

Ketika dikonfirmasi Bisnis, Fachri menceritakan bahwa dirinya resah dengan isu virus corona yang justru meluas 'ke mana-mana'. Padahal, ketersediaan infrastruktur merupakan hal terpenting yang perlu diperhatikan.

"Saya tidak bermaksud untuk menyudutkan pihak RS tempat saya di isolasi. Saya membeberkan itu untuk memberikan gambaran bagaimana belum siapnya fasilitas kesehatan kita menghadapi COVID-19," ujarnya, Selasa (17/3/2020).

"Sekaligus menunjukan betapa rentannya tenaga medis kita, karena mereka sendiri belum bisa tes swab. Pihak RS tentu sudah mencapai batasannya, karena sulit menambah ruang isolasi mendadak di saat jumlah pasien meningkat," tambahnya.

Awal mulanya, Fachri yang mengidap gejala badan lemas, demam, batuk, sesak nafas, pilek, dan sakit tenggorokan, mencoba berobat ke Puskesmas.

Namun, karena tak membaik dalam beberapa hari, akhirnya dirinya menelepon call center COVID-19 melalui nomor 112. Setelah itu, dia diarahkan lah ke RS rujukan.

Fachri pun berobat ke RS Pasar Minggu. Di ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD), dia ditanya terkait gejala dan keadaan, kemudian cek darah dan rontgen paru-paru.

"Habis saya rontgent paru, dipindahkan lah ke ruang dekontaminasi. Itu isinya orang batuk semua. Pokoknya batuk, mau dia terindikasi corona atau enggak digabung di situ. Satu ruangan bisa berisi 4-5 orang dengan ukuran ruangan sekitar 2x3 meter," tulisnya.

Nahas, jumlah tempat tidur hanya 3, sisanya sekitar 4-5 pasien lain duduk di kursi roda, termasuk Fachri. Setelah menunggu sekitar 1 sampai 2 jam, dirinya mendapat kabar sebagai pasien suspect virus corona berdasarkan gejala dan riwayat perjalanan, sehingga dipindah ke ruang khusus isolasi pasien.

Nasib Fachri nyatanya tak berubah. Di ruang isolasi yang diisi 6 pasien, Fachri kembali harus menunggu tempat tidur.

Di ruangan itu hanya ada 3 kasur, sedangkan pasiennya ada 6. Alhasil, sebagian di antaranya terpaksa harus duduk di kursi roda. Bahkan, Fachri mengaku baru mendapatkan kasur Senin (16/3/2020) pagi.

"Dari 6 orang tersebut, 2 diantaranya malam itu langsung dirujuk ke RS Rujukan yang lain. Sedangkan sisanya menunggu kamar isolasi rawat inap kosong atau ada RS Rujukan lain yang mau nerima, sedangkan kondisinya semua RS Rujukan penuh."

Di ruang isolasi tersebut, Fachri dan beberapa pasien yang tersisa pun menunggu kepastian tes swab. Fachri mengaku tak membayar karena merupakan PDP.

"Akhirnya, sekitar jam 11 siang kami tes swab oleh tim dokter. Hasil tes swab baru bisa diketahui paling cepet 3 hari. Ga heran Gubernur DKI dan Jabar ingin tes mandiri, sebab bila menunggu pusat lama banget."

Akhirnya, Fachri yang hingga kini masih berstatus PDP pun pulang seorang diri sembari menunggu hasil tes yang akan keluar beberapa hari lagi.

Dari pengalamannya itu, Fachri berharap besar pemerintah pusat dan daerah lebih proaktif dalam penyediaan infrastruktur RS dan perluasan RS rujukan. Pengetesan massal, jelasnya, juga perlu diupayakan.

"Hal ini demi awareness kepada masyarakat kelas menengah ke bawah dan mencegah penyebaran virus sebelum masuk ke daerah padat penduduk."

Harapan Pemerintah Daerah

Kepala Bidang Sumber Daya Kesehatan Dinas Kesehatan DKI Jakarta sekaligus Koordinator Call Center Tim Tanggap COVID-19 DKI Ani Ruspitawati mengungkap bahwa literasi menjadi kunci dalam situasi ini.

Pasalnya, berapa pun banyaknya tempat tidur yang disediakan, tak akan cukup apabila masyarakat juga tak mempersiapkan upaya social distancing measure dan mengupayakan tempat isolasi diri pribadi.

"Karena ini baru kasus awal, tentu kami kembangkan terus [ketersediaan infrastruktur] sesuai keadaan. Sudah hampir 500 tempat tidur yang kami tambah. Tetapi harus kerja sama dengan semua pihak termasuk masyarakat," ujarnya kepada Bisnis.

Ani menjamin bahwa jajaran tenaga kesehatan di lingkungan Pemprov DKI Jakarta telah menjalankan protokol dengan hati-hati.

"Kalau gejalanya tidak berat sebenarnya bisa isolasi diri sendiri. Kami agak hati-hati juga ya, tidak bisa menggeneralisasi keadaan di tiap rumah sakit," jelasnya.

"Karena isolasi diri di rumah itu juga saran dari Dinas Kesehatan, misalnya kondisi pasien, kondisi rumah, sehingga menyarankan ini isolasi diri atau masuk ke RS, banyak pertimbangan, berbeda tiap orang. Kalau butuh rumah sakit pasti didorong," tambah Ani.

Pemprov DKI Jakarta berharap banyak elemen-elemen masyarakat yang saling bahu-membahu menyediakan segala macam infrastruktur. Terutama dalam penyediaan ruang-ruang isolasi bagi masyarakat menengah ke bawah.

"Karena bagi masyarakat menengah ke atas mungkin bisa isolasi diri tidak berpengaruh, bisa berdiam di rumah, tapi yang menengah ke bawah itu yang mereka akan di-back up," tutupnya.

Terpisah, Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta Weningtyas dalam keterangannya di Balai Kota DKI Jakarta memastikan bahwa infrastruktur RS rujukan akan terus ditambah.

Saat ini, jumlah tempat tidur akan ditambah 300 buah untuk mampu menampung total 500 pasien di keseluruhan Jakarta. Sementara itu, RS rujukan pun akan ditambah di RS Duren Sawit, RS Pelni, dan RS Tarakan.

"Sambil menunggu surat Keputusan Gubernur yang saat ini sedang berproses, telah diterbitkan SK Kepala Dinas yang menetapkan rujukan second line untuk RS Rujukan COVID - 19 di tingkat Provinsi DKI Jakarta dan selanjutnya akan kami siapkan 500 bed [tahap] kedua. 500 bed tersebut sedang kami inventarisir," jelasnya.

Selain itu, Pemprov DKI Jakarta pun akan berupaya menggandeng RS swasta seperti Mayapada Group, Siloam Group, Hermina Group, dan sebagainya.

"Kemudian, hari ini kami juga telah melakukan pertemuan dengan jejaring laboratorium yang telah ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan, yaitu Eijkman, Mikrobiologi UI, kemudian juga Labkesda," jelasnya.

Harapannya, penambahan laboratorium bisa menambah kecepatan pengetesan pasien terduga virus corona di Jakarta, yang hingga kini telah mencapai 330 PDP. Dari jumlah itu, 168 masih dirawat dan 162 selesai dirawat.

Sementara itu, Orang Dalam Pemantauan (ODP) sebanyak 813 orang, masih 277 yang terpantau, sedangkan 536 orang telah selesai dipantau, dengan jumlah penelepon hotline Pemprov DKI Jakarta berjumlah 7.433 orang.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Aziz Rahardyan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper