Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah pusat seakan melempar beban tanggung jawab begitu besar kepada daerah, akibat kebijakan yang 'serba tanggung' dalam Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Khususnya, di sektor transportasi.
Pemda diminta menentukan sendiri aturan teknis PSBB yang tetap mengacu Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes). Ini belum termasuk menanggung konsekuensi akibat segala pembatasan yang dilakukan.
Pakar Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono mengggambarkan hal tersebut.
"Regulasi PSBB ini kalau buat penyakit menular lain, boleh lah. Tapi Covid-19 tidak seperti itu. Intervensi pusat lemah dan terlalu birokratis. Padahal untuk menanggulangi Covid-19, segala langkah pencegahan penularan harus cepat," ujarnya kepada Bisnis, Kamis (9/4/2020).
Oleh sebab itu, Pandu lebih setuju apabila PSBB langsung saja ditetapkan pemerintah pusat secara langsung, tak perlu kepala daerah yang mengajukan.
Namun, pusat, lewat Kementerian Kesehatan dan kementerian lain yang terkait pembatasan sosial, tetap melakukan bimbingan teknis untuk menilai bagaimana baiknya implementasi PSBB di masing-masing daerah. Sebab antardaerah pasti memiliki perbedaan tantangan dan keadaan.
Baca Juga
Takut Salah Langkah
Dengan adanya kebijakan birokratis semacam ini, kecepatan pemerintah dalam memutuskan kebijakan penanganan Covid-19 pun terdegradasi.
Tak heran, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan melemparkan wacana bahwa landasan hukum PSBB sebenarnya sudah rampung, kecuali satu hal yang masih harus didiskusikan lagi bersama pusat: operasional ojek online (Ojol).
Seperti diketahui, hal ini mengacu lampiran Permenkes No 9/2020 tentang Pedoman PSBB dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19, yang tertulis bahwa layanan ekspedisi barang, termasuk sarana angkutan roda dua berbasis aplikasi dengan batasan hanya untuk mengangkut barang dan tidak untuk penumpang.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komarudin, mengungkap seakan takut salah langkah dari Anies ini memang bisa dipahami, apalagi terkait Ojol yang punya 'suara' besar.
"Ojol itu jumlahnya sangat besar. Menjadi potensi suara dalam Pemilu. Sangat dibutuhkan oleh calon kepala daerah maupun calon presiden. Potensi suara yang sangat besar itulah, yang membuat elite gamang dalam mengambil keputusan. Dalam pandemi ini, [Ojol] mau dilarang salah, tidak dilarang juga salah. Jadinya masih mengganjal," ungkapnya kepada Bisnis.
Ujang pun sepakat, selain pembatasan Ojol, pusat seakan tak berani mengintervensi secara tegas pembatasan lain yang akan berdampak pada perekonomian.
Bisa jadi ini untuk membagi beban tanggung jawab karena secara teknis, pemda-lah yang secara sukarela mengajukan diri menggelar PSBB.
"Mungkin pusat sudah tak punya uang. APBN defisit. Pemerintah keluarkan surat utang dan sebagainya. Bagi daerah kaya seperti Jakarta, PSBB tak begitu mengkhawatirkan, karena APBD Jakarta sangat besar. Namun, jika PSBB nanti diterapkan di daerah lain yang miskin, itu yang akan menjadi beban daerah," tambahnya.
Dilema Angkutan Jalan
Seperti diketahui, sebelumnya Kepala Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta Syafrin Liputo menjelaskan bahwa perbedaan mendasar dari pembatasan transportasi di Jakarta sebelum dan sesudah PSBB, yakni pembatasan di jalan raya.
Dishub tengah mengkaji formula yang pas untuk menerapkan pembatasan untuk kendaraan umum dan pribadi yang melintasi jalan Ibu Kota.
Untuk transportasi penumpang angkutan jalan, gambaran utamanya, yakni seluruhnya akan dibatasi kapasitas penumpangnya menjadi hanya 50 persen, dan jam pelayanan hanya pukul 06.00 WIB sampai 18.00 WIB.
Oleh sebab itu, Syafrin mengaku akan terus berkoordinasi dengan Dishub daerah lain, dan trayek angkutan jalan yang keluar-masuk Jakarta.
"Jadi misalnya dari Lampung ke Jakarta biasanya 4 jam, ada angkutan yang berangkat dari Lampung jam 16.00 WIB, sampai Jakarta 20.00 WIB. Jakarta sudah ditutup dalam trayeknya, ya jangan lagi dipaksa untuk masuk," jelas Syafrin.
Menanggapi hal ini, pihak Organisasi Angkutan Darat (Organda) DKI Jakarta secara umum sepakat dengan adanya PSBB di Jakarta di tengah pandemi Covid-19.
Sebab, pembatasan bukan hanya akan melindungi masyarakat, tapi menghindari awak dan aset transportasi dari penularan ataupun menularkan Virus Corona.
Namun demikian, Ketua Organda DKI Jakarta Shafruan Sinungan mengungkap bahwa dengan keputusan teknis pembatasan yang dibebankan di daerah, pemberian insentif ke perusahaan dan bantuan untuk awak kendaraan transportasi terdampak pun jadi tak memiliki kejelasan.
Padahal, di tengah pandemi Covid-19 ini, perusahaan beserta 85.902 kendaraan dengan jumlah awak sekitar dua orang per satu unit kendaraan, dan karyawan satu orang per enam unit kendaraan, yang terancam 'ambruk'.
Hal ini akibat tiap angkutan tercatat memiliki tingkat ridership yang turun rata-rata 90 persen, bahkan 100 persen untuk bus pariwisata.
Artinya, dengan diputuskannya pelayanan angkutan dengan penumpang minim masih boleh berjalan, omzet pun tak bisa menutup biaya operasional.
"Saya membaca kebijakan ini, pemerintah pusat kelihatannya hanya mau melempar tanggung jawab kepada pemerintah daerah. Karena kalau setop dari pusat, pasti harus ada tanggung jawab kepada kami [dari pemerintah pusat]. Tapi mudah-mudahan logika saya salah," ungkapnya kepada Bisnis.
Terkini, Organda DKI Jakarta hanya bisa pasrah dan menyampaikan keadaan usaha angkutan ke Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, lewat surat resmi perihal kepastian insentif atau stimulus untuk operator angkutan jalan yang terdampak.
Organda berharap besar uluran tangan pemerintah mampu mempertahankan kelangsungan hidup usaha angkutan darat, sehingga tenaga kerja yang terancam dirumahkan dan tidak bekerja, tidak berpenghasilan, atau terancam PHK.
Harapan besar adanya insentif dari Pemprov DKI Jakarta, seperti pembebasan biaya Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) dan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) baik pokok maupun tunggakan.
Selain itu, besar harapan Organda agar pemerintah mampu memberikan bantuan langsung tunai kepada pekerja pengemudi/awak kendaraan, mekanik dan staf sebagai jaring pengaman sosial.
Terakhir, membebaskan semua retribusi daerah yang dikenakan untuk angkutan umum, dan memastikan operator angkutan yang sudah berkontrak dengan Transjakarta agar tetap dibayar penuh baik operatornya maupun pengemudinya sesuai kontrak.