Kabar24.com, JAKARTA - Penerapan berkegiatan di rumah dan Pembatasan Sosial Berskala Besar sedikit banyak berpengaruh terhadap kualitas udara di Jakarta.
Dari sejumlah indikator dan perhitungan, berbagai pihak menyebutkan bahwa kendaraan umum dan kendaraan pribadi secara signifikan mempengaruhi kualitas udara Jakarta dan sekitarnya.
“Kendaraan bermotor memang faktor nomor satu, dan berhentinya pabrik [sementara] bisa berpengaruh juga ke kualitas udara Jakarta,” ujar Kepala Sub Bidang Informasi Pencemaran Udara Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Suradi, Kamis (30/4/2020).
Suradi menjelaskan secara umum sejak awal Work From Home atau berkegiatan di rumah, hingga dua pekan setelahnya dan awal Ramadan ini, terlihat ada perbaikan kualitas udara.
Sayangnya, geliat masyarakat yang melakukan panic buying dengan mobilitas warga yang kembali tinggi sempat menyebabkan polusi kembali meningkat di awal PSBB.
Di saat yang sama, pengaruh tidak turunnya hujan dalam beberapa waktu akan membuat kualitas udara memburuk.
Hingga memasuki pekan pertama Ramadan, indikator kualitas udara masih menunjukkan angka yang naik turun di kategori Baik (0-50 mikrogram per meter kubik) dan Sedang (51-150 mikrogram per meter kubik).
BMKG juga menganalisis faktor angin. Analisis ini menegaskan tidak adanya pengaruh dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di kawasan Banten atau sisi barat Jakarta. Seperti diketahui, PLTU tetap beroperasi maksimal saat ini, demi menjamin lacarnya pasokan listrik di ibu kota selama pandemi Corona dan PSBB.
“PLTU justru enggak pengaruh. Kita perlu lihat juga bandingannya dengan April 2019, jika dibandingkan tahun lalu, kualitas udara Jakarta April tahun ini justru membaik,” jelasnya.
Direktur Pengendalian Pencemaran Udara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Dasrul Chaniago juga mengakui, banyak pertanyaan tentang dampak PSBB terhadap kualitas udara ambien Jakarta.
Dia menerangkan, untuk menjelaskan hal ini tidak bisa membandingkannya bulan ke bulan, misalnya dari Januari sampai April ini.
“Karena kualitas udara dipengaruhi oleh banyak hal. Antara lain arah angin, kecepatan angin, bentang alam, dan tentunya yang utama adalah sumber emisi setempat,” ujarnya.
Dia mengatakan, pada April ini sudah masuk musim angin timur. Saat musim angin timur, selain kering juga membawa partikel debu lebih banyak. Oleh karenanya tren partikel debu udara ambien Jakarta akan terus naik sampai September.
Dasrul mengatakan jika ingin membandingkan data bulan April 2020, bisa dilihat kualitas udara periode yang sama tahun lalu atau year on year. Ia mewanti-wanti, pihaknya tidak bisa sembarang menyebut faktor tertentu sebagai pencemar. Berdsar analisis dari alat pengukur, KLHK sama dengan BMKG melihat ada perbaikan kualias udara Jakarta dan sekitarnya.
“Untuk konsentrasi partikel debu ( PM 10), ada penurunan di atas 17 persen. Sedangkan untuk konsentrasi PM 2.5 ada penurunan sekitar 10 persen. Artinya udara ambien Jakarta membaik dibandingkan tahun lalu pada waktu yang sama,” tuturnya.
Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) Prof Haryoto Kusnoputranto melihat cuaca udara di Jakarta selama diberlakukannya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sudah cukup membaik. Indikator awam adalah langit yang terlihat lebih biru.
Haryoto menekankan hal yang sama dengan pandangan Suradi, penyumbang polusi udara paling besar di Jakarta adalah kendaraan bermotor. Sekitar 65 persen sampai 70 persen polusi disebabkan kendaraan bermotor.
Dia menepis kalau pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dijadikan sebagai faktor penyumbang polusi udara di Jakarta. Menurut dia, PLTU tidak menyumbang polutan di ibu kota. Karena, ada dua yang menjadi sumber cuaca udara di Jakarta buruk.
“Pertama sumber bergerak dan sumber tidak bergerak. Sumber bergerak itu kendaraan bermotor, menyumbang sekitar 65 persen - 70 persen. Tidak bergerak itu ada industri dan sebagainya. Sumbernya hanya itu. Jadi kalau kendaraan bermotor tidak ada, saya yakin udara bersih dan sehat,” tegasnya.
Adapun untuk mengukur kualitas udara, ada istilah Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU). Indikatornya adalah lima polutan utama. Dia menegaskan, perhitungannya tidak bisa dilakukan secara sembarangan.
“[Dengan] ISPU kita bisa mengukur apakah kondisi udara saat ini sehat (baik), sedang, tidak sehat, sangat tidak sehat dan berbahaya. Ada 5 polutan yang bisa dipegang jadi parameter, yaitu partikel debu (PM10), karbon monooksida (CO), sulfur dioksida (SO2), nitrogen dioksida (NO2) dan Ozon Permukaan (O3),” kata Prof Haryoto.