Bisnis.com, JAKARTA - Pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah menilai kebijakan DPRD DKI Jakarta lebih mementingkan polemik korporat dibandingkan pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P) yang seharusnya menjadi prioritas.
Hal itu terbukti dengan dilakukannya kunjungan Panitia Khusus (Pansus) ke Kawasan Berikat Nusantara (KBN), Selasa (20/10/2020) pagi.
"Sekarang dengan adanya KBN ini kan seperti proyek gitu lho, proyek yang sebenarnya masalahnya nggak serumit yang dibayangkan, korporasi dan tripartit saja gitu," ujar Trubus di Jakarta.
Menurut dia, DPRD DKI harus secepatnya menunda pembahasan KBN, untuk kemudian segera membahas Perubahan APBD DKI Jakarta.
Terlebih, perubahan APBD DKI Jakarta 2020 ini telah lama tertunda yang seharusnya sudah mulai dibahas pada Agustus yang lalu dan sangat dinantikan oleh masyarakat secara luas.
"Soal KBN ini yang sifatnya nggak terlalu berat lah, hal-hal yang biasa saja, sengketa yang sifatnya kepentingan bisnis. Itu kan sengketa bisnis sebenarnya, internal korporasi, lalu inilah kemudian yang dipertanyakan publik," katanya.
Terlebih, kata dia, berkaca pada pembuatan pansus DPRD DKI Jakarta selama ini, sangat jarang dihasilkan rekomendasi yang bisa diaplikasikan pihak terkait.
Apalagi, pengelolaan KBN ini bersinggungan dengan pemerintah pusat, sehingga rekomendasi yang dihasilkan pun hanya untuk kepentingan korporasi semata.
"Ya saya melihatnya justru ini patut diduga ada deal-deal, terkait dengan keberadaan BUMN sendiri dan deal-deal yang sifatnya lebih ke bersifat politik ekonomi," ujar Trubus.
Dia menyarankan (Pansus KBN) itu ditunda (pending) dulu. Utamakan APBD, ini yang paling prioritas.
"Lalu kemudian banjir karena menyangkut kebutuhan masyarakat banyak," tukasnya.
DPRD DKI Jakarta akan mengonfrontir sejumlah data yang didapat berkaitan dengan polemik pembangunan Pelabuhan Marunda.
Dalam waktu dekat, DPRD DKI akan memanggil PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Persero dan PT Karya Citra Nusantara (KCN).
Ketua Pansus KBN DPRD DKI Pandapotan Sinaga mengatakan, mempertemukan dua belah pihak sangat dibutuhkan.
Apalagi, masing-masing memiliki pengakuan berbeda terkait proporsi saham yang menimbulkan konflik pada pembangunan Pelabuhan Marunda sejak tahun 2015.
Menurut versi PT KTU proporsi saham yang berlaku saat ini adalah 85 persen KTU dan 15 persen KBN.
"Tapi kemarin kalau KBN mengaku sudah mengeluarkan akte pendirian perusahaan sehingga proporsi sahamnya masing-masing 50 persen. Makanya mau gali dulu data-data kebenarannya," kata Pandapotan, Rabu (14/10/2020).