Bisnis.com, Jakarta – Seruan Gubernur 8/2021 tentang Pembinaan Kawasan Dilarang Merokok menuai beragam polemik. Sejumlah pihak menganggap seruan yang diterbitkan untuk mencegah penyebaran Covid-19 ini tidak sesuai tujuannya.
Mantan Politisi Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean mengatakan, bahwa Sergub 8/2021 ini sama sekali tidak memiliki implikasi terhadap penyebaran Covid-19.
Dia justru meminta Gubernur DKI Anies Baswedan untuk fokus mendorong protokol kesehatan (prokes) di sejumlah ruang publik.
“Sergub ini sama sekali tidak relevan, jangan dihubung-hubungkan dengan pandemi. Masih banyak hal lain terkait penyebaran pandemi yang tidak diurusi Anies Baswedan. Misalnya banyak keramaian di pasar tradisional, kalau ditelusuri banyak sekali pelanggaran protokol kesehatan. Lebih baik Anies Baswedan fokus memperketat itu, daripada mengurusi sesuatu yang tidak relevan,” ujar dia dalam keterangannya, Kamis (30/9/2021).
Lagipula, menurut Ferdinand, harusnya penindakan dilakukan terhadap keramaian.
Menurutnya, Sergub 8/2021 yang terbit Juni lalu ini justru bakal menekan dunia usaha sekaligus mengganggu upaya pemulihan ekonomi yang saat ini tengah jadi fokus pemerintah pusat.
Baca Juga
Dampak dari Sergub ini, dalam beberapa minggu belakangan Satpol PP telah banyak melakukan penindakan dengan menutup etalase maupun reklame rokok di minimarket, dan supermarket.
Pemprov DKI sebelumnya juga menyatakan akan melakukan penindakan serupa kepada warung-warung kecil, termasuk memberikan sanksi bagi pelaku usaha yang masih memasang reklame atau memajang etalase rokok.
Kebijakan ini bukannya membantu para pelaku usaha tetapi menambah persoalan baru yang sangat meresahkan ditengah pandemi Covid-19 yang belum berakhir.
Dalam kesempatan terpisah, ekonom dari Universitas Padjadjaran Irsyad Kamal mengatakan, bahwa Sergub ini tidak relevan untuk mencegah penyebaran Covid-19. Alih-alih mencegah penyebaran Covid-19, malah mematikan ekonomi masyarakat.
Irsyad justru menilai sergub ini bakal mengganggu dunia usaha, terutama untuk industri hasil tembakau (IHT) dan pelaku usaha ritel baik modern atau tradisional seperti warung.
Apalagi, jika penindakan yang dilakukan Satpol PP sebagaimana yang dilakukan dengan menutup etalase rokok di minimarket juga dilakukan di warung-warung.
Dalam tataran makro-ekonomi pembatasan yang ketat terhadap IHT dinilai Irsyad juga bukan hanya berdampak terhadap pelaku usaha kecil, melainkan juga berimbas kepada perusahaan rokok.
Menurut Irsyad, pembatasan-pembatasan terhadap IHT terjadi lantaran pemerintah belum memiliki tujuan yang jelas terhadap IHT.
Kebijakan terhadap IHT tidak bisa sekadar meniru sejumlah negara yang memberlakukan pembatasan secara ketat seperti Amerika Serikat, Singapura dengan menjual rokok dengan harga yang tinggi, melarang penjualan eceran. Karena negara-negara tersebut tidak mengandalkan pendapatan dari IHT.
“Yang saya tegaskan adalah pemerintah perlu punya objektif yang jelas, kalau memang menekankan aspek kesehatan apakah bisa mengompensasi pendapatan dari IHT. Saat ini penerimaan cukai rokok itu paling besar, kemudian kalau dibatasi secara ketat, perusahaan-perusahaan rokok pasti akan melakukan layoff terhadap pekerjanya,” pungkasnya.