Jakarta kotaku indah dan megah
Di situlah aku dilahirkan
Rumahku di salah satu gang
Namanya gang kelinci
Entah apa sampai namanya kelinci
Mungkin dulu kerajaan kelinci
Karena manusia bertambah banyak
Kasihan kelinci terdesak
Sekarang rumahnya berjubel
Oh, padat penghuninya
Anak-anak segudang
Krudak…kruduk kayak kelinci
Kami semua hidup rukun dan damai
Hanya satu yang kami herankan
Badanku bulat tak bisa tinggi
Persis kayak kelinci
Lagu Gang Kelinci karya Titiek Puspa menjadi pembuka sebuah diskusi bertajuk Psikologi Perkotaan: Intervensi Kita dalam Kota di kampus Universitas Indonesia, belum lama ini. Niniek L Kariem yang menjadi salah satu pembicara merasa pas menyajikan lagu tersebut dalam diskusi itu. Dia merasa Titiek Puspa cerdas menciptakan lagu sederhana, tetapi membekas hingga berbagai generasi saat ini.
Bagi Niniek, psikolog dan juga aktris itu, lagu Gang Kelinci yang dipupulerkan oleh Lilis Suryani menjadi semacam oposisi biner—sebuah gagasan dipopulerkan pencetus aliran filsafat strukturalisme Ferdinand de Saussure, yakni eksistensi dua hal yang berlawanan.
Dua hal relasi yang berlawanan dalam lagu tersebut terdapat pada beberapa bait lirik. Jika diurai, diksi rumah berjubel, berpenghuni padat bisa memberi kesan Jakarta menjadi sangat membosankan dan tak layak huni. Akan tetapi disebutkan, kendati sebagian kawasan Jakarta dimetaforakan sebagai Gang Kelinci, warga setempat merasa hidup rukun dan damai.
Dalam satu kesempatan, Niniek bahkan menyengaja menanyakan pada Titiek Puspa ihwal asal-usul penciptaan lagu tersebut. Ternyata Titiek membuat lirik tersebut berdasarkan kisah nyata. “Dia [Titiek Puspa] menciptakan lagu Gang Kelinci setelah mengunjungi sebuah kawasan padat di Jakarta,” ujar Niniek.
Niniek melanjutkan, persoalan Jakarta sebagai kota metropolitan sejak dulu memang mengemuka soal urbanisasi atau pertumbuhan penduduk. Dalam kapasitasnya sebagai psikolog, dia berkeinginan untuk mewujudkan pembangunan kota tanpa melupakan indeks kebahagiaan masyarakat.
Menurutnya bukan hanya Jakarta saja, pembangunan kota di berbagai daerah lainnya juga harus diimbangi dengan tingkat pertumbuhan kesejahteraan penduduk. Hal tersebut, kata Niniek, jarang dijumpai ketika pembangunan sudah berdiri, sementara penduduk tidak merasakan kemegahan kota yang dibangun.
Maka menjadi wajar apabila Niniek meminta agar pemangku kebijakan dan pengusaha melibatkan warga dalam membangun sebuah daerah atau kota. Dukungan itu bisa berupa tenaga, pikiran atau gagasan lainnya yang bisa menjadikan sinergi semua pihak.
Dia memberi contoh, Kota Chicago, Amerika Serikat pada era 1980-an sempat dicap sebagai kota paling membosankan dengan tingkat kepadatan penduduk yang terus bertumbuh. Namun, dalam beberapa waktu, Chicago menjadi kota layak huni yang bisa memberikan kebahagiaan pada warga setempat. “Rumusnya sederhana, saat itu semua elemen warga menciptakan konsep Chicago Glue dengan membersihkan sungai Chicago yang kotor menjadi bersih,” paparnya.
Artinya, lanjut Niniek, lagu Gang Kelinci bisa menjadi sumber inspirasi. Setidaknya, pembangunan kota dengan tingkat urbanisasi tinggi tidak lantas membuat warga tidak bahagia. Kerja sama semua lapisan masyarakat, paparnya, menjadi kunci keberhasilan pembangunan kota yang dibarengi indeks kebahagian penduduk.
“Makanya saya bersama dengan Pemerintah Provinsi Jakarta dan elemen masyarakat lain bergerak membersihkan sungai Ciliwung. Sekarang mereka tidak perlu menutup hidung. Mereka bahkan kerap berinteraksi di sekitar sungai itu,” ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, Bupati Kepulauan Seribu DKI Jakarta, Asep Syarifudin menuturkan pihaknya menjamin telah melibatkan sekitar 60% warga dalam pembangunan di daerahnya. Dia menyatakan Kepulauan Seribu sebagai kawasan wisata telah menggerakan warga setempat untuk sama-sama membangun perekonomian lokal.
Menurutnya, warga terlibat aktif dalam berbagai kegiatan seperti aktifitas perdagangan, menyediakan tempat menginap bagi wisatawan hingga menjadi pekerja pembangunan hotel dan resor di kawasan itu. “Bahkan bahan baku untuk membuat sebuah bangunan hotel dan resor sebagian berasal dari warga setempat,” ujarnya.
Asep mengamini salah satu persoalan mendasar untuk mencapai indeks kebahagiaan penduduk di sebuah kota adalah pola interaksi yang baik antar warga dan pemerintah. Warga kota, lanjutnya, yang cenderung memiliki ego tinggi harus meniru cara interaksi warga desa dengan rasa kekeluargaan tinggi.
“Ego individual itulah yang selama ini secara tidak langsung menjadi penghalang maju dan berkembangnya sebuah kota,” katanya.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Sekolah Perencanaan Indonesia Bakti Setiawan mengungkapkan terdapat enam bias pembangunan kota yang menjadi tantangan selama ini. Pertama, bias material dalam pembangunan kota yang terlalu mementingkan pandangan materialistis tanpa melihat nilai-nilai kebudayaan lokal.
Kedua, bias kapital pembangunan yang memperlakukan semua sumber daya kota dan warga menjadi sebuah komoditas berprofit tinggi. Padahal, bias kapital tersebut berdampak pada ketimpangan sosial.
Ketiga, bias privat pembangunan yang mementingkan ruang pribadi ketimbang ruang publik. Bias ini bisa berdampak pada sulit terpenuhinya ruang publik itu sendiri lantaran sudah dikuasai ruang personal segelintir pihak.
Keempat, bias pembangunan spasial yang mementingkan penataan kota dengan melupakan penataan kota lain. Bias tersebut lebih mengedapkan zonasi tertentu tanpa melihat pembangunan pada zonasi di kawasan tertinggal.
Kelima, bias pemerintah dalam membentuk sebuah kota dengan mengklaim perencanaan dan pembangunaan untuk kepentingan pemerintah. Dampaknya, bias penguasa dalam pembangunan menjadikan partisipasi warga kota menjadi terhambat.
“Bias terakhir bisa dilihat dari sisi gender. Selama ini pemerintah ataupun pengembang terkesan mengedepankan pembangununan ‘maskulin’, seolah-olah tidak ada peruntukkan yang mencerminkan bagi ruang difable, kaum renta, anak-anak dan remaja,” paparnya.