Bisnis.com, JAKARTA — Gubernur Daerah Khusus Jakarta Pramono Anung menyoroti sejumlah hal yang perlu diperhatikan agar investor internasional mau mengucurkan modalnya di Jakarta.
Pramono menyampaikan bahwa hal pertama yang harus dilakukan adalah transparansi yang dijalankan dengan sungguh-sungguh, bukan hanya sebagai ucapan semata.
Mantan Sekretaris Kabinet (seskab) tersebut mencontohkan bahwa salah satu masalah yang Dia ketahui soal Jakarta sebelum dilantik sebagai gubernur adalah soal kepastian dalam pengurusan KLB (Koefisien Lantai Bangunan) dan juga SLF (Sertifikat Laik Fungsi).
“Ketika saya rapat saya tanyakan berapa sih sebenarnya yang bisa kita lakukan dengan kepastian. Katakanlah selesai dalam waktu 10 hari, 1 bulan, 2 bulan, 3 bulan, mohon maaf tidak ada yang bisa menjawab,” tuturnya di di ajang Jakarta Future Festival, Minggu (15/6/2025).
Pramono mencontohkan bahwa dirinya baru saja menyelesaikan KLB yang cukup besar, yang telah diurus selama 12 tahun. Nilainya mencapai Rp453 miliar, padahal jumlah tersebut dinilai dapat digunakan untuk berbagai hal di Jakarta.
Lantaran yang mengurus KLB tersebut adalah temannya, kata Pramono, keberanian untuk menandatangani kesepakatan muncul dari adanya faktor kepercayaan.
Baca Juga
“Kalau bukan karena teman saya, pasti dia juga tidak berani untuk tanda tangan dan untuk mengeluarkan Rp453 miliar, pasti tidak berani. Tetapi, karena ada trust itu. Dan begitu dia tanda tangan, sekarang orang sudah mulai ngantri untuk ikut tanda tangan yang lainnya.”
Untuk menarik investor internasional, pihaknya juga bekerja sama dengan universitas-universitas dunia sebagai bagian dari upaya me-branding citra Jakarta sebagai kota yang terbuka.
Dengan demikian, menurutnya, transparansi, keterbukaan, dan clean and good governance menjadi kata kunci jika ingin membuat investor merasa nyaman datang ke Jakarta. Hal tersebut Dia klaim sebagai sesuatu yang akan dilakukan, dan membutuhkan dukungan dari dalam Balai Kota.
Sebelumnya, Pramono mengakui bahwa rendahnya nilai Foreign Direct Investment (FDI) menjadi salah satu kelemahan, dibandingkan beberapa Ibu Kota negara tetangga. Hal itu disebabkan banyak ketidakberesan birokrasi dan perizinan.
“Salah satu kelemahan Jakarta adalah Foreign DIrect Investment-nya rendah US$1,4 miliar, rendah dibandingkan dengan Kuala Lumpur, dibandingkan dengan Singapura apalagi. Terlalu kecil,” jelas Pramono di Balaikota Jakarta, Jakarta Pusat, Selasa malam (27/5/2025).
Pasalnya, berdasarkan data yang ditayangkan Pramono dalam forum tersebut, FDI Singapura tercatat mencapai US$192 miliar, Bangkok dengan US$164 miliar, dan Kuala Lumpur sebesar US$9,8 miliar.
“Kenapa rendah? Dari hal-hal yang sifatnya kecil sampai hal-hal yang sifatnya prinsip,” jelasnya.
Dia mencontohkan, hal-hal kecil seperti kesan negatif terhadap pelayanan publik dapat menjadi hambatan tersendiri. “Yang kecil apa? Baru datang ke Jakarta. Lihat bea cukainya saja sudah takut, lihat imigrasinya ngeri-ngeri sedap. Ini kenyataan,” tuturnya.
Selain itu, dia menyinggung soal proses perizinan termasuk dalam hal penyelenggaraan konser artis dunia seperti Coldplay dan Taylor Swift. Dia membandingkan situasi tersebut dengan Singapura yang dinilai lebih terbuka dan menjamin kemudahan.
“Gimana mau main di negara seperti ini KITAS-nya [Kartu Izin Tinggal Terbatas] masih ditanya. Sementara di Singapura orang mau datang, Taylor Swift, dikasih duit di depan. Dijamin semuanya, transparan, terbuka,” jelas Pramono.
Oleh karena itu, Pramono menegaskan bahwa memperbaiki iklim investasi akan menjadi prioritas dalam masa pemerintahannya.