Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

NASIB TELUK JAKARTA: Bala Reklamasi dan Kesialan Si "Pluit City"

Musibah pertama datang kala Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap tangan mantan Ketua Komisi D DPRD DKI Mochammad Sanusi sekaligus uang tunai dengan total Rp 2 miliar pada Kamis (31/3/2016).
Nelayan tengah mencari ikan di Teluk Jakarta./Antara
Nelayan tengah mencari ikan di Teluk Jakarta./Antara

"Sudah jatuh, tertimpa tangga"

Peribahasa tersebut nampaknya paling tepat menggambarkan kondisi PT Muara Wisesa Samudra (PT MSW) saat ini. Anak perusahaan PT Agung Podomoro Land Tbk. (APLN) tersebut seakan mendapatkan musibah secara beruntun dalam beberapa waktu terakhir.

Musibah pertama datang kala Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap tangan mantan Ketua Komisi D DPRD DKI Mochammad Sanusi sekaligus uang tunai dengan total Rp 2 miliar pada Kamis (31/3/2016).

Komisi antirausah menduga uang tersebut merupakan uang suap yang diberikan oleh PT APLN untuk memuluskan pengesahan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi Jakarta (RZWP3K) dan Raperda tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Jakarta Utara alias Raperda Reklamasi.

Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan 3 orang tersangka yaitu M Sanusi sebagai penerima suap serta Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land (PT APLN) Ariesman Widjaja serta Trinanda Prihantoro selaku Personal Assistant di PT APLN.

Tak berhenti sampai di situ, musibah bagi salah satu pengembang properti terbesar di Indonesia tersebut kembali terjadi kala sebuah media massa nasional mengetahui bahwa perusahaan telah "menyetor" berbagai kewajiban tambahan kepada Pemprov DKI.

Permintaan pemenuhan kewajiban tambahan tersebut diminta langsung oleh Basuki Tjahaja Purnama, yang kala itu masih menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta, di ruangannya 18 Maret 2014. PT MSW, sebagai pemegang konsesi pulau G seluas 161 m2, diwajibkan membangun kewajiban tambahan berupa rusunawa Daan Mogot, Pompa Kali Angke, revitalisasi Muara Angke, tanggul A NCICD, hingga biaya operasional penggusuran kawasan prostitusi Kali Jodo.

Pada 10 Juni 2014, sembilan hari setelah Jokowi mengambil cuti untuk kampanye presiden, Ahok, saat itu menggantikan Jokowi sebagai Pelaksana Tugas (Plt), mengeluarkan perpanjangan izin prinsip yang sudah kadaluwarsa di September 2013 yang dikeluarkan Fauzi di 2012 untuk pulau F, G, I, dan K.

Enam bulan berselang, tepatnya Pada 23 Desember, Mantan Bupati Belitung Timur tersebut menerbitkan Surat Keputusan Gubernur No 2238/2015 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra pada 23 Desember 2014.

Tak pikir panjang, perusahaan milik taipan Trihatma Kusuma Haliman tersebut langsung membuat kampanye promosi di berbagai media massa, baik dalam dan luar negeri. Rencananya, PT MSW akan membangun sebuah kota modern yang diberi nama "Pluit City".

Promosi secara masif tersebut ternyata menyedot perhatian banyak mata. Bukan cuma investor yang ingin memiliki properti di atas pulau, tetapi warga Indonesia secara general. Iklan yang menggambarkan betapa modernnya Pluit City ternyata menyadarkan banyak orang bahwa akan ada mega proyek reklamasi di Teluk Jakarta. Padahal, proses pengerukan laut sudah dilakukan terlebih dahulu oleh PT Kapuk Naga Indah (anak usaha PT Agung Sedayu) yang membangun pulau C dan D. 

Protes pertama datang dari Menteri Kelautan dan PerikananSusi Pudjiastuti. Susi bahkan datang langsung ke Balai Kota dan meminta Pemprov DKI untuk menghentikan reklamasi dengan alasan itu adalah wewenang pemerintah pusat.
 
Pada September 2015, Koalisi Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menggugat Pemprov DKI karena telah menerbitkan izin untuk Pulau G untuk Pluit City di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Isi gugatan menyatakan reklamasi telah mengancam wilayah para nelayan dalam mencari nafkah sehingga mereka harus berlayar lebih jauh.

Meski mendapat tekanan dari berbagai sisi, Ahok tetap ngotot untuk meneruskan reklamasi. Bahkan, tahun lalu dia kembali menerbitkan empat izin pelaksanaan untuk pulau F, H, I, dan K untuk PT Jakarta Propertindo, anak perusahaan Intiland Tbk, PT Taman Harapan Indah, anak perusahaan tak langsung Agung Podomoro PT Jaladri Kartika Pakci yang bermitra dengan PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk. (PJAA), dan Pulau K untuk PJAA.

Alasannya dia untuk tak menghentikan reklamasi pun sangat sederhana. "Reklamasi itu sudah diatur dalam Keppres 52/1995 yang ditandatangani oleh [Alm] Pak Harto. Kalau mau saya hentikan reklamasi, batalkan dulu Keppres itu," kata Ahok.

MORATORIUM & KEKALAHAN DI PTUN

Berbagai cara dilakukan Ahok agar proses reklamasi di Teluk Jakarta terus berjalan. Namun, sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya jatuh juga.

Meski mengeluarkan berbagai jurus, niat Ahok untuk mempertahankan kejelasan mega proyek yang digadang-gadang mampu memberikan pendapatan asli daerah (PAD) triliunan rupiah tersebut harus berhenti sementara.

Momentum tersebut terjadi kala dia bertandang ke Kantor Kemenko Maritim di Jalan Thamrin Jakarta Pusat, Senin Sore (18/4). Di hadapan puluhan pewarta, Menteri Perekonomian Bidang Maritim Rizal Ramli, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, dan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama sepakat melakukan penghentian sementara (moratorium) proyek reklamasi 17 Pulau di Teluk Jakarta.

Keputusan penghentian pekerjaan di lapangan tak hanya berlaku bagi pulau G, tetapi juga pulau C dan D, serta pulau K.

"Agar semuanya objektif, kami minta Pemprov DKI melakukan moratorium reklamasi Teluk Jakarta sampai semua peraturan dipenuhi semua pihak, termasuk pemerintah dan pengembang," jelas Rizal Ramli saat itu.

Pelaksanaan moratorium ternyata bukan akhir dari kisah drama reklamasi Teluk Jakarta. Selasa (31/5), Majelis hakim di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mengabulkan gugatan nelayan atas Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Nomor 2.238 Tahun 2014 tentang Pemberian Izin Reklamasi Pulau G di Teluk Jakarta kepada PT Muara Wisesa Samudra.

Putusan yang dibacakan Hakim Ketua Adhi Budhi Sulistyo Hakim menyatakan SK Gub tersebut batal atau tidak sah. Marthin Hadiwinata, Ketua KNTI Bidang Hukum & Pembelaan Nelayan mengaku sangat senang atas dikabulkannya gugatan keberatan nelayan atas proyek reklamasi di Teluk Jakarta.

Hakim PTUN setuju dengan nelayan bahwa reklamasi Pulau G bertentangan dengan UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan tanpa adanya Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, termasuk tidak adanya partisipasi masyarakat dalam hak atas lingkungan yang bersih dan sehat.

Reklamasi juga memberi dampak buruk kepada arus laut yang mengakibatkan sedimentasi dan pencucian alami perairan teluk yang berdampak buruk kepada ekosistem dan akses nelayan untuk melaut.

"Kami berharap keputusan ini dapat segera diimplementasikan di lapangan. Kegiatan reklamasi dihentikan, perbaikan lingkungan disegerakan, dan pemulihan sosial ekonomi nelayan di Teluk Jakarta menjadi prioritas," ujarnya.

Pihaknya mendukung perbaikan dan pemulihan Teluk Jakarta dengan pembangunan partisipatif.  Dirinya juga berharap putusan ini memberi inspirasi kepada kepala daerah lain untuk segera menghentikan kegiatan reklamasi di wilayahnya, seperti Bali, Makassar, dan lainnya.

"Gugatan ini baru khusus untuk pulau G saya. Saat ini sedang berlangsung gugatan pulau lain, yakni terhadap Pulau F, I dan K," lanjutnya.

Ahok justru menanggapi kekalahan tim pengacara Pemprov DKI dengan santai. Mengaku belum membaca secara detail putusan tersebut, Ahok mengatakan saat ini pihaknya akan menunda pembangunan reklamasi bukan membatalkannya.

"Kami patuh saja sama putusan itu sambil menunggu inkracht," ujar Ahok di Balai Kota DKI, Rabu (1/6).

Dalam kesempatan yang sama Ahok mempertanyakan nasip reklamasi Teluk Jakarta di masa mendatang. Menurutnya, pembatalan izin pelaksanaan yang diteken olehnya tak akan bisa membatalkan aturan terdahulu, yaitu Keppres No 52/1995. 

Selain berencana mempelajarinya, Ahok justru melihat kejanggalan sikap penggugat yang terkesan hanya membidik PT MSW dan beberapa pengembang yang izinnya dikeluarkan tahun lalu. Pasalnya, kata Ahok, proses reklamasi sudah berlangsung jauh sebelum Agung Podomoro mengeruk laut di depan kawasan Pluit, Jakarta Utara.

"Kenapa Pulau N [milik PT Kawasan Berikat Nusantara] ga disuruh batalin juga? Kalau Anda anti reklamasi kenapa pulau A-E ga dituntut bongkar juga? Itu pulau C D udah jadi, sudah ada bangunan lagi," tegasnya.

Kepala Biro Hukum Pemprov DKI Yayan Yuhanah memastikan akan mengajukan banding setelah diputuskan kalah dalam Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta terkait gugatan nelayan terhadap Surat Kepupusan Gubernur Nomor 2238 Tahub 2014.

"Kami (Pemprov DKI Jakarta) mau ajukan banding atas putusan PTUN," katanya.

Meski begitu, pihaknya belum dapat mengetahui kapan pengajuan banding tersebut akan dilakukan. Namun batas pengajuan banding tidak boleh dilakukan lebih dari 14 hari. Lebih lanjut, Yayan menambahkan bahwa terdapat beberapa pertimbangan hukum yang harus di kaji oleh Pemprov DKI apabila melakukan banding.

"Nanti kami bahas mulai dari eksepsi, proses secara yuridis, dan pokok perkara juga akan kami lihat. Nanti kami jawab saat proses banding," ungkap Yayan.

Ketua Himpunan Pengusaha Swadiri Indonesia (Hipsi) Firmandes mengatakan kebijakan moratorium reklamasi dan kekalahan pengembang di PTUN akan dilihat sebagai preseden buruk oleh para investor lokal dan asing.

"Hal ini menunjukkan adanya ketidakpastian hukum dalam berinvestasi sehingga bisa berdampak pada minat investor asing untuk berinvestasi di Indonesia," katanya.

Apalagi, lanjutnya, pengembang swasta yang ditunjuk Pemerintah Provinsi DKI telah mengantongi berbagai perizinan yang dibutuhkan.

"Kalau seperti ini, tidak ada lagi artinya perizinan yang telah diterbitkan. Sebagai produk hukum, semua izin seperti tidak berlaku," imbuhnya.

Pakar hukum tata negara Irmanputra Sidin mengatakan pengembang yang telah mengantongi izin, maka haknya dilindungi oleh konstitusi, berupa hak atas perlindungan dan kepastian hukum.

”Mereka sudah mendapatkan izin untuk membangun pantai utara Jakarta dan karenanya izin itu tidak bisa dengan mudah dihentikan begitu saja. Bagaimana kalau para pengembang menggugat balik keputusan pemerintah dan meminta ganti rugi atas biaya yang telah dikeluarkan?" katanya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper