Bisnis.com, JAKARTA - Sebanyak 1.200 ton sampah dihasilkan Kota Depok setiap harinya. Dari jumlah tersebut, hanya 620 ton yang bisa ditampung di TPA Cipayung. Lantas ke mana sisanya?
Sebagian sisa sampah yang tidak tertampung tersebut di bakar atau dijadikan pupuk kompos. Sebagian besar lainnya dibiarkan teronggok di tempat-tempat publik. Guna menangani persoalan sampah, pemerintah Kota Depok sebenarnya sudah memiliki payung hukum yang jelas. Ini tercermin dari Perda Nomor 5 tahun 2014 tentang pengelolaan sampah. Melalui instrumen legal ini kota depok ditargetkan menjadi kota tanpa sampah “Depok Zero Waste City” di masa mendatang.
Persoalan sampah di Kota Depok ini menjadi perhatian sejumlah pihak. Salah satunya adalah Widhyanto Muttaqien. Beserta sejumlah koleganya, alumni pascasarjana Institut Pertanian Bogor mendirikan sebuah perkumpulan bernama Center for Reasearch on Environment, Appropriate Technology, and Advocacy (CREATA).
Pria yang akrab di sapa Widhy ini menuturkan perkumpulan Creata diisi oleh sejumlah peneliti di berbagai bidang keilmuan. Mulai dari pengelolaan sampah hingga sumber daya alam. Dalam praktiknya, organisasi non-profit ini sengaja memilih Depok sebagai basis proyek pemberdayaan mereka karena beberapa faktor.
“Pengelolaan sampah di Kota Depok ini sebenarnya sudah tergolong maju tetapi kurang sosialisasi. Selain itu Depok juga memiliki banyak komunitas anak muda yang bisa digerakkan untuk membantu menanggulangi persoalan sampah,” katanya kepada Bisnis.
Perkumpulan ini memang baru berdiri setahun terakhir. Namun, sejumlah riset program pemberdayaan sudah dilakukan. Salah satu proyek yang sedang dikerjakan adalah pembuatan peta hijau kota Depok. Widhi berharap peta yang akan berbentku aplikasi Android ini bisa menjadi panduan masyarakat Kota Depok untuk menjalani gaya hidup yang lebih ramah lingkungan.
Zero Waste Resto
Saat berkunjung ke restoran atau tempat makan, apa yang menjadi pertimbangan anda? Sebagian besar mungkin akan menjawab lokasi, harga makanan yang ditawarkan, atau reputasi café tersebut di kalangan masyarakat. Sangat sedikit sekali masyarakat yang mempertimbangkan aspek ‘hijau’ restoran tersebut.
“Padahal konsumen memegang peranan penting dalam kampanye lingkungan hijau,” paparnya.
Melihat fenomena tersebut, perkumpulan Creata menjadikan ‘Zero Waste Resto’ sebagai salah satu program ungguan mereka. Ini dilakukan dengan melakukan riset terhadap 14 restoran kelas menengah atas yang tersebar di Kota Depok. Tidak hanya riset, mereka juga menawarkan program pelatihan secara gratis kepada restoran tersebut dengan berkolaborasi bersama Badan Lingkungan Hidup Kota Depok.
Widhi menuturkan sejumlah café dan restoran menunjukkan minat sangat besar terhadap program tersebut. Namun, mereka saat ini masih kesulitan mengimplementasikan konsep ‘Zero Waste Resto’ di lahan usaha mereka.
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan program ZWR? Menurut Widhi, kampanye program ini memiliki empat aspek utama. Pertama, bahan makanan harus berasal dari sumber yang memenuhi standar lingkungan. Idealnya, bahan makanan ini berasal dari aktivitas urban farming yang mengadopsi sistem pertanian organik. Restoran dan café harus memperhatikan produsen bahan-bahan makanan tersebut.
Kedua, pemilik tempat makan juga harus memperhatikan aspek kandungan gizi dari makanan yang disajikan. Menurut Widhi, hal ini bisa dilakukan dengan memberikan informasi mengenai kandungan gizi suatu makanan di buku menu kepada konsumen. Dengan demikian, pelanggan bisa memilih mana makanan yang cocok untuk mereka.
Aspek ketiga adalah pengelolan sampah dan sisa aktivitas masak seperti minyak jelantah. Pengelolaan sampah bisa dimulai dengan melakukan pemilahan antara sampah organik dan non-organik. Sampah non-organik bisa didaur ulang, sedangkan untuk sampah organik bisa diolah menjadi pupuk atau biogas. “Khusus untuk minyak jelantah kami sudah punya proyek percontohan untuk mengolah minyak tersebut menjadi bahan bakar mesin diesel di Jagakarsa,” tambah Widhi.
Aspek lain yang tidak kalah penting adalah mengumpulkan sisa makanan yang seharusnya masih bisa dikonsumsi. Widhi menuturkan banyak restoran saat ini membuang sisa makanan yang sejatinya masih bisa dimanfaatkan. Di Malang dan Bogor, sejumlah komunitas telah memulai gerakan untuk mengumpulkan sayuran yang tidak laku di jual atau makanan dari restoran untuk dibagikan gratis kepada masyarakat.
Ke depan, Widhi berharap pihaknya dan pemerintah kota bisa memberikan labelisasi kepada restoran yang memang telah memperhatikan aspek lingkungan tersebut. Ini bisa dituangkan dalam bentuk Peraturan Wali Kota agar masyarakat terpacu memilih tempat makan yang sudah menerapkan program ‘Zero Waste Resto’.
Persoalan ini memang terkesan sepele. Namun, data menunjukkan 1,3 miliar ton makanan terbuang sia-sia setiap tahunnya. Padahal, 800 juta manusia lain di berbagai belahan dunia mengalami masalah kelaparan dan kekurangan gizi. Akankah kita berpangku tangan menyaksikan sampah makanan yang menggunung?