Bisnis.com, JAKARTA - Pasca pembentukan tim pemenangan bagi pasangan calon gubenur dan wakilnya, sejumlah program pun mulai dibahas untuk menjadi alat kampanye pada Pilkada DKI 2017. Salah satu tema yang santer menjadi topik utama kampanye Pilkada DKI 2017 adalah soal penggusuran.
Bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, tak pelak kata ‘gusur-menggusur’ menjadi hantu tersendiri.
Pasalnya, di bawah kepemimpinan pasangan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan Djarot Saiful Hidayat, program gusur-menggusur terkesan menjadi program wajib untuk menertibkan tata kota Jakarta.
Sebut saja pada akhir-akhir ini pemerintah provinsi DKI Jakarta s melakukan penggusuran di wilayah bukit duri yang berbatasan dengan sungai Ciliwung sebagai bagian dari program normalisasi Sungai Ciliwung.
Selain Bukit Duri, sebelumnya Ahok-Djarot juga melakukan penggusuran di sejumlah wilayah seperti Kalijodo, juga Kampung Pulo.
Tak heran jika program penggusuran itu menjadi alat kampanye bagi rival pasangan calon petahana untuk meraih dukungan suara warga Jakarta.
Ketua DPD Partai Gerindra Muhammad Taufik mengungkapkan jika jagoannya yakni pasangan calon Anies Baswedan dan Sandiaga Uno tak akan membuat resah masyarakat Jakarta jika mereka terpilih menjadi pemimpin DKI Jakarta.
“Pak Anies dan Pak Sandi memiliki gagasan bagaimana masyarakat Jakarta itu merasa tenang. Kan sekarang orang gundah terus ketakutan [karena penggusuran], rasa ketakutan orang itu besar jadi kita akan sampaikan kalau pemimpin Jakarta ke depan itu [Anies-Sandi] akan menciptakan kesejahteraan masyarakat,” ujar Taufik.
“Ini pemimpin masyarakat, bukan pemimpin gedung-gedung atau pun real estate,” tambahnya.
Meski mengeritik program penggusuran, politisi Gerindra itu tak berani secara terang-terangan memberi jaminan bahwa Anies dan Sandi tidak akan melakukan penggusuran seperti yang dilakukan pemerintah Ahok-Djarot.
Senada dengan Taufik, A.M Fatwa selaku politisi senior Partai Amanat Nasional yang berada di kubu pasangan calon Agus Harimurti dan Sylviana Murni juga mengkritik adanya penggusuran.
“Ahok berbeda dengan Ali Sadikin. Meskipun harus diakui saat itu masalah, misalnya penggusuran atau HAM belum mengemuka kesadaran bagi masyarakat sehingga misalnya pelebaran jalan memang tidak diadakan penggantian tetapi dengan menjanjikan kepada rakyat kalau diratakan tempat itu menjadi mahal," kata Fatwa.
Lebih lanjut Fatwa menjelaskan, penggusuran yang dilakukan Ahok bukan solusi terbaik karena masih meninggalkan sejumlah persoalan yakni persoalan permukiman kumuh menjadi hal yang dilupakan Ahok.
"Misalnya proyek MHT (Mohammad Husni Tamrin) betul-betul melakukan pembenahan daerah kumuh. Saat ini misalnya pembenahan kali dan sungai berhasil tetapi untuk pembenahan daerah kumuh sekarang kurang diperhatikan," jelasnya.
"Memang disediakan alternatif tempat setelah penggusuran, tapi daerahnya yang dibuat rusun jauh sekali," tambahnya.
Sementara itu, pengamat politik Vishnu Juwono menganggap wajar jika penggusuran menjadi senjata ampuh bagi lawan politik Ahok- Djarot untuk meraih simpati masyarakt Jakarta terutama kelas menengah ke bawah.
“Meskipun misinya baik, tapi pola komunikasinya kontraproduktif, karena yang disorot penindasan terhadap rakyat miskin di Jakarta. Ini tugas tim [Ahok-Djarot] untuk memperbaiki komunikasi kepada masyarakat bahwa itu [penggusuran] juga untuk kepentingan golongan miskin di Jakarta,” tukasnya.