Bisnis.com, JAKARTA - Anggota Komisi VI DPR Bambang Haryo Soekartono menilai langkah penyelamatan penumpang atas musibah terbakarnya kapal motor (KM) Zahro Expres tidak maksimal, padahal kejadian itu tidak jauh dari pelabuhan.
Dia menilai, proses penyelamatan kapal itu sangat ironis, karena bantuan penyelamatan atas kecelakaan yang menewaskan 23 orang itu justru datang dari para nelayan, bukan Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakamla), Badan SAR Nasional (Basarnas) atau Polisi Air (Polair).
“Pertolongan internal dan eksternalnya tidak berjalan efektif. Padahal, jaraknya hanya 1,8 km dari pelabuhan,” ujar Bambang, Selasa (3/12/2017).
Dia menyayangkan telatnya datang pertolongan mengingat kecelakaan itu terjadi justru di dekat pelabuhan yang tentunya memiliki fasilitas lebih baik.
Bambang mencontohkan, di Filipina bila terjadi kecelakaan serupa, petugas sudah berada di lokasi kejadian lima menit setelah insiden. Sedangkan, dalam kejadian itu Basarnas, Bakamla, dan Polair dinilai lambat memberikan pertolongan hingga kapal ludes terbakar dan menelan banyak korban jiwa.
“Basarnas tidak bergerak di waktu awal. Bakamla lambat, Polair bergerak tapi ke arah mencari penyebab terbakarnya kapal. Ini tidak boleh dilakukan Polair, karena di Kemenhub ada Penyidik Pegawai Negeri Sipil,” ujarnya.
Seharusnya, lanjut Anggota F-Gerindra DPR itu, kru atau ABK kapal membimbing penumpang agar melakukan penyelamatan dengan memberi alat keselamatan. Harus ada pengarahan yang memadai kepada para penumpang dalam menghadapi situasi darurat tersebut.
“Harus ada pengarahan dari nakhoda dan kru untuk penumpang. Harus meninggalkan kapal, sambil diyakinkan agar menggunakan alat keselamatan. Di kapal harus ada life craft. Jadi, kalau di laut bisa mengembang seperti perahu karet,” ujarnya.