Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pengusaha Hiburan Jakarta Menjerit Imbas Pajak Tinggi dan Aturan Kawasan Tanpa Rokok

Pengusaha hiburan menjerit akibat tingginya pajak hiburan serta rencana penerapan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
Ilustrasi aktivitas di tempat hiburan malam. Pemerintah resmi menaikkan pajak hiburan sebesar 40%-75% yang tertuang dalam Undang-undang No.1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dok Freepik
Ilustrasi aktivitas di tempat hiburan malam. Pemerintah resmi menaikkan pajak hiburan sebesar 40%-75% yang tertuang dalam Undang-undang No.1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dok Freepik

Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Pengusaha Hiburan Jakarta (Asphija) menyampaikan keluhan atas kondisi industri hiburan yang dinilai kian terpuruk akibat tingginya pajak hiburan serta rencana penerapan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR).

Ketua Umum Asphija, Hana Suryani, mengungkapkan bahwa tarif pajak hiburan di Jakarta telah mencapai 40% dan berpotensi naik hingga 75%. Kondisi tersebut, ditambah dengan rencana kebijakan KTR, dinilai menambah beban berat bagi pelaku usaha hiburan malam.

“Artinya kita ini sudah lagi mau mati, sudah mau mati. Sudah bukan loyo lagi nih, nafas saya udah di tenggorokan, ditambah lagi ada kebijakan ini, saya sudah lemas, sudah pasrah,” jelasnya ketika dihubungi, Selasa (24/6/2025). 

Hana menjelaskan bahwa penurunan pendapatan di sektor hiburan malam telah terjadi sejak tarif pajak dinaikkan menjadi 25% pada 2020, bahkan sebelum pandemi Covid-19 melanda.

“Apalagi terakhir tuh pandemi udah lah, udah mati lah kita semua, karena kan emang total tutup kan. Nah pas buka-buka lagi, 2024 awal di Februari Pajak sudah 40%, mati Ini,” ujarnya. 

Hana menjelaskan bahwa dirinya secara pribadi bukan perokok sehingga mendukung area tanpa rokok. 

Meski demikian, secara pribadi, Dia mendukung pengawasan lebih lanjut di area publik terlebih dahulu. Namun, jika diterapkan di tempat hiburan, konteksnya dinilai menjadi berbeda. 

“Nah kalau masuk ke dalam area hiburan, itu tempat, tempat kita yang bayar, bayar kita,” terangnya. 

Menurutnya, jika KTR diterapkan di area hiburan, pemerintah seharusnya memberikan pendampingan serta menetapkan batasan-batasan tertentu. Misalnya dengan menyediakan ruang khusus untuk merokok dan non-merokok, serta mendukungnya dengan fasilitas seperti exhaust atau air purifier.

Apalagi, dikatakan bahwa tempat hiburan hanya bisa dimasuki oleh orang yang berusia di atas 21 tahun. Ketika ada sekelompok orang yang masuk ke suatu ruangan, contohnya karaoke, sekelompok orang tersebut telah memiliki kesepakatan sendiri. 

“Jadi artinya tidak ada yang dirugikan kalau semuanya bersepakat gitu loh. Lain halnya, kalau misalnya ada ruangan yang non-smoking, yaudah berarti non-smoking itu steril,” jelasnya. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper