Bisnis.com, JAKARTA – Perayaan HUT ke-491 Jakarta Jumat (22/6/2018) yang mengambil tema Adil, Maju, Bahagia, disesuaikan dengan visi misi Anies-Sandi yaitu Maju Kotanya, Bahagia Warganya, dibayang-bayangi keterlambatan realisasi program 23 janji kampanye Anies-Sandi, pelanggaran aturan, dan penyerapan anggaran daerah yang masih rendah.
Pertama, penataan kawasan Tanah Abang yang parsial dan penutupan Jalan Jatibaru Raya merupakan kebijakan maladministrasi dan melanggar aturan.
Temuan dan rekomendasi Ditlantas Polda Metro Jaya, Ombudsman Republik Indonesia Wilayah DKI Jakarta, dan Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek belum mampu memaksa Gubernur DKI untuk membuka kembali Jalan Jatibaru Raya. Rencana pembangunan jembatan layang (skybridge) akan dibangun paska Lebaran tetapi namun itu bukan solusi akhir.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta belum memiliki konsep penataan Tanah Abang secara komprehensif. Kemacetan lalu lintas tidak berkurang. Uji coba OK OTrip mendapatkan penolakan dari pengemudi angkutan umum. Sementara pembiaran pelanggaran pedagang kaki lima (PKL) berjualan di badan jalan dan trotoar telah menyebar seperti terlihat di Pasar Jatinegara, Bendungan Hilir di Jalan Sudirman dan Jalan Sunan Ampel Melawai.
Kedua, uji coba OK OTrip memiliki dua kendala utama yang harus diselesaikan yakni nilai harga perkiraan sendiri untuk tarif rupiah per kilometer yang dinilai masih terlalu rendah dan pembatasan jumlah angkutan kota yang bisa bergabung.
Dari sekitar 12.500 unit angkutan kota, direncanakan hanya menggunakan 8.887 unit yang terintegrasi dengan PT Transjakarta dan dilakukan bertahap mulai dari 2.687 unit (2018), 5.437 unit (2019), dan seterusnya. Jumlah trayek akan berkurang dari 156 menjadi 93 trayek.
Pertanyaannya, kemana sisa angkutan kota, bagaimana nasib pemilik dan pengemudi, belum ada solusi. Perlu ada Rencana Induk Program OK OTrip (2018-2022) yang terintegrasi dengan Pola Makro Transportasi Terpadu, dan Rencana Induk Transportasi Jabodetabek.
Selain itu perlu ada re-routing trayek eksisting agar tidak tumpang tindih, efisiensi unit kendaraan, dan proses integrasi angkutan reguler dengan angkutan massal secara bertahap dengan target jelas.
Ketiga, DKI Jakarta masih kekurangan rumah (backlog) 301.319 unit, terutama untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Pemprov DKI belum memiliki Rencana Induk Perumahan dan Permukiman yang menjabarkan peta sebaran lokasi perumahan dan permukiman, program hunian vertikal (rusunami/rusunawa), apartemen, kampung susun, dan target pembangunan secara rinci.
Program rumah uang muka nol rupiah adalah kredit murah berbasis tabungan bagi MBR yang harus didukung skema pendanaan yang kuat dan berkelanjutan. Persyaratan calon peminat program ini bukan dari MBR.
Bantuan uang muka hanyalah pinjaman yang tetap harus dicicil pengembaliannya dan masuk skema cicilan dengan bunga sebesar 5% selama maksimal 20 tahun.
Rencana pengambilan dana talangan uang muka dari APBD dinilai merupakan penyalahgunaan wewenang. Sementara masa jabatan gubernur lima tahun. Siapa yang bisa menjamin kepada bank pemberi pinjaman ketika nanti ganti gubernur program ini masih akan dilanjutkan. Penggunaan skema pendanaan kerja sama operasi membuat tidak ada pembiayaan dari APBD, di mana keuntungan dibagi sesuai persentase pemodalan pembangunan.
Namun penunjukan swasta sebagai pengembang berpotensi menciptakan konflik kepentingan yang menguntungkan swasta.
Keempat, penghentian reklamasi Pantura Teluk Jakarta menyisakan pekerjaan rumah, antara lain percepatan penyelesaian Raperda Rencana Zona Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) dan Raperda Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantura (RTRKSP) Jakarta. Pembentukan Badan Koordinasi Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta (Pergub DKI Nomor 58 Tahun 2018) justru menimbulkam polemik baru akan kepastian dan keberlanjutan pulau-pulau reklamasi.
Kelima, Keputusan Gubernur Nomor 878 Tahun 2018 tentang Gugus Tugas Pelaksanaan Penataan Kampung dan Masyarakat menetapkan 21 lokasi meliputi Kampung Tongkol, Lodan, Kerapu, Muka, Walang, Akuarium, Marlina, Elektro, Gedung Pompa, Blok Empang, Kerang Ijo, Baru Tembok Bolong, Tanah Merah, Prumpung, Rawa Barat, Rawa Timur, Guji Baru, Kunir, Kali Apuran, Sekretaris, dan Baru.
STATUS KAWASAN
Pemprov DKI perlu segera memastikan dulu status peruntukan kawasan, dimana sesuai Perda 1/2014 tentang RDTR DKI Jakarta 2030 Kampung Tongkol, Lodan, Kerapu (zona putih/sempadan sungai/jalan inspeksi), Akuarium (zona hijau/RTH), Marlina (zona ungu/perkantoran dan coklat/jenis usaha), Gedung Pompa (zona ungu/perkantoran), Kerang Ijo (zona biru/perairan laut), Rawa Barat dan Rawa Timur (zona hijau/RTH).
Cek legalitas kepemilikan lahan, apakah tanah negara, dikuasai perusahaan swasta atau dimiliki perseorangan. Jika peruntukan bukan untuk hunian dan kepemilikan lahan jelas, maka Pemprov DKI wajib mengembalikan fungsi peruntukan sesuai RDTR DKI.
Ada tiga pola penataan perkampungan. Pemugaran meliputi upaya perbaikan dan pembangunan kembali kawasan hunian menjadi permukiman layak huni. Peremajaan kawasan mewujudkan permukiman yang lebih baik dengan terlebih dahulu menyediakan tempat tinggal bagi masyarakat.
Permukiman kembali mencakup pemindahan masyarakat dari lokasi yang tidak mungkin dibangun kembali/tidak sesuai dengan rencana tata ruang kota dan/atau rawan bencana serta menimbulkan bahaya bagi barang maupun manusia.
Keenam, Gubernur DKI Jakarta masih memiliki segudang pekerjaan rumah untuk segera merealisasikan janji kampanyenya seperti program Taman Maju Bersama, Kartu Jakarta Pintar Plus, Kartu Jakarta Sehat Plus, pengembangan pendidikan kejuruan, Kartu Pangan Jakarta (revitalisasi pasar tradisional), dan percepatan reformasi birokrasi.
Ada pula janji pembangunan mandiri Kepulauan Seribu, kota hijau dan kota aman, revitalisasi pusat pengembangan kebudayaan, festival seni dan olahraga, peningkatan kualitas layanan air bersih dan kesehatan, membangun pusat wisata dan tempat bersejarah.