Bisnis.com, JAKARTA – Ahli Pencemaran Udara dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung (ITB) Raden Driejana mengungkapkan bahwa Jakarta memerlukan adanya percepatan pemulihan kualitas udara.
“Pemulihan ini dilakukan dengan perbaikan dari sisi kebijakan pemerintah berupa pengendalian dan reduksi emisi mengingat Jakarta sebagai kota yang sangat hidup dan dinamis,” ungkapnya kepada Bisnis, baru-baru ini.
Lebih konkret, dia mengungkapkan, pemerintah memiliki pekerjaan rumah untuk merevisi Peraturan Pemerintah No 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan juga Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 21 Tahun 2008 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak Bagi Usaha dan/ atau Kegiatan Pembangkit Tenaga Listrik Termal.
Di samping itu, dia juga mengungkapkan pentingnya konsistensi pemerintah dalam membangun infrastruktur umum dan peningkatan kenyamanan di setiap fasilitas umum yang dibangun.
Menurutnya, jika tidak ada tindakan, terutama dari pemerintah dalam memperbaiki kebijakan, perubahan kualitas udara di Jakarta tidak akan signifikan. Justru pencemaran udara akan terus meningkat, seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan gaya hidup yang tidak ramah lingkungan.
“Kira-kira butuh waktu lima tahun untuk melihat perubahan yang signifikan dengan perbaikan lifestyle,” ungkapnya.
Seperti yang diinformasikan oleh Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), bahwa selama 2016—2018, parameter pencemar udara yakni PM 2,5 di Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan selalu menunjukkan angka di atas Baku Mutu Udara Daerah (BMUAD) Jakarta.
Standar tahunan nasional dan World Health Organization (WHO) masing-masing adalah 15 ug/m3 dan 10 ug/m3. Namun konsentrasi PM tahunan sebesar 42,2 ug/m3 dan 37,5 ug/ m3.
Parameter pencemar lain seperti ozone juga mengkhawatirkan. Standar nasional dan Jakarta adalah masing-masing 50 ug/m3 dan 30 ug/m3. Namun dalam tujuh tahun terakhir (2011—2018), di sejumlah wilayah seperti Bundaran HI, Kelapa Gading, Jagakarsa, Lubang Buaya, dan Kebon Jeruk, angkanya di atas normal.