Bisnis.com, JAKARTA–Pemprov DKI Jakarta akan ambil alih pengelolaan air bersih dari PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Aetra Air Jakarta (Aetra) melalui tindakan perdata.
Langkah tersebut diambil berdasarkan rekomendasi dari Tim Evaluasi Tata Kelola Air yang dalam enam bulan terakhir melaksanakan kajian yang meliputi aspek hukum dan ekonomi dari pengambilalihan tersebut.
Berdasarkan kajian tim, ada tiga langkah kebijakan yang dapat diambil oleh Pemprov DKI Jakarta yaitu membiarkan kontrak selesai hingga tahun 2023, pemutusan kontrak kerja sama antara PD PAM Jaya dengan pihak swasta terkait, dan yang terakhir adalah pengambilalihan melalui tindakan perdata.
Opsi pertama tidak direkomendasikan oleh tim karena kinerja swasta dalam penambahan cakupan pelayanan air bersih masih jauh dari target yang ditetapkan dalam kontrak kerja sama antara PD PAM Jaya dengan Palyja dan Aetra.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menerangkan cakupan pelayanan air bersih pada tahun 1998 baru 44,5%. Namun, setelah pengelolaan air bersih dikelola oleh swasta cakupannya baru mencapai 59,4% pada 2017.
Di tahun 2023 Pemprov DKI Jakarta menargetkan perluasan cakupan pelayanan air bersih hingga 82%.
Dengan adanya hak eksklusifitas yang dimiliki oleh Palyja dan Aetra, PD PAM Jaya tidak mampu meningkatkan cakupan pelayanan tanpa persetujuan swasta terkait.
Pengelolaan air bersih mulai dari produksi hingga pelayanan pelanggan pun sepenuhnya diatur oleh pihak Palyja dan Aetra, sedangkan PD PAM Jaya hanya hadir sebagai pengawas atas aset yang mereka miliki sendiri.
Berdasarkan capaian swasta selama 19 tahun tersebut, swasta dipandang tidak mampu untuk mencapai target di tahun 2023.
"Kalau membiarkan sampai tahun 2023, artinya rakyat DKI Jakarta tidak akan merasakan penambahan yang serius karena dengan waktu yang habis tahun 2023 hampir pasti swasta tidak mau melakukan investasi lagi karena tahun 2023 akan selesai (kontraknya)," tutur Anies, Senin (11/2/2019).
Anggota Tim Evaluasi Tata Kelola Air Tatak Ujiyati pun menerangkan selama ini PD PAM Jaya berusaha memperluas cakupan pelayanan akan tetapi penyertaan modal daerah (PMD) yang diajukan selalu ditolak karena wewenangnya dimiliki oleh Palyja dan Aetra.
Selain itu, dengan pembiaran kontrak hingga 2023 ini maka Pemprov DKI Jakarta harus menyetorkan jaminan keuntungan kepada Palyja dan Aetra masing-masing sebesar Rp6,7 triliun dan Rp1,8 triliun.
Hal ini karena PD PAM Jaya pada tahun 1997 memberikan jaminan keuntungan kepada swasta terkait dengan persentase keuntungan sebesar 22% kepada Palyja dan Aetra.
Adapun proyeksi jaminan keuntungan yang diberikan kepada Aetra jauh lebih kecil karena pada 2012 PD PAM Jaya bersama Aetra telah melakukan revisi kontrak dengan menurunkan IRR hingga 15,8% dan PD PAM Jaya pun tidak lagi diwajibkan untuk menanggung kekurangan setoran keuntungan apabila tidak mencapai persentase yang terdapat dalam kontrak.
Terkait denga opsi kedua yaitu pemutusan kontrak, hal tersebut juga tidak direkomendasikan oleh tim karena hal tersebut akan menimbulkan preseden buruk atas iklim berbisnis di DKI Jakarta.
Selain itu, opsi pemutusan kontrak tersebut mewajibkan PD PAM Jaya untuk membayar biaya terminasi kontrak yang mencapai Rp1 triliun.
Oleh karena itu, akhir Pemprov DKI Jakarta memilih opsi tinfakan ketiga yaitu pengambilalihan melalui langkah perdata dan ada beberapa langkah yang bisa diambil oleh Pemprov DKI Jakarta atas mekanisme tersebut.
"Ada tiga pilihan yaitu mengambilalih sebagian pengelolaan, kita ambil beberapa yang sesuai dengan PP No. 122/2015 tentang Sistem Penyediaan Air Minum, kedua beli sahamnya, ketiga itu bisa putus kontrak sesuai dengan pasal 49 poin 3 dalam perjanjian kerja sama," tutur Tatak, Senin (11/2/2019).
Anies pun memerintahkan tim untuk mengawal PD PAM Jaya dalam rangka proses pengambilalihan.
"Tim Evaluasi Tata Kelola Air juga Dirut PD PAM Jaya secara berkala akan melaporkan kepada gubernur dan proses ini akan dilakukan secara transparan, terbuka, dan tidak ada yang ditutup-tutupi. Ini adalah sesuatu yang terang benderang dan menyangkut hajat hidup orang banyak," tutur Anies.
Dari opsi-opsi yang terdapat dalam mekanisme pengambilalihan secara perdata, Anggota Tim Evaluasi Tata Kelola Air Nila Ardhianie mengatakan dirinya masih melaksanakan kajian bersama tim untuk menentukan langkah apa yang paling menguntungkan untuk Pemprov DKI Jakarta dan PD PAM Jaya.
Anies juga menargetkan kepada Dirut PD PAM Jaya Priyatno Bambang Hernowo untuk segera menyepakati head of agreement (HoA) bersama dengan Palyja dan Aetra pada Maret 2019.
Menurut Anies, pihaknya mengerjakan pengambilalihan ini di awal tahun karena adanya konsekuensi fiskal atas renegosiasi yang nantinya disepakati dan berpengaruh pada pembahasan APBD-P 2019 serta APBD 2020 nanti.
Adapun HoA adalah kesepakatan awal antara PD PAM Jaya dan swasta terkait sebelum diteruskan dengan revisi kerja sama yang lebih konkret kedepannya.
Kedepannya ketika pengelolaan air bersih sepenuhnya dikelola oleh PD PAM Jaya maka harga pelayanan penyediaan air bersih pun akan lebih rendah dari harga yang berlaku sekarang.
Nila pun menuturkan harga air bersih di Paris setelah pengelolaannya di ambil oleh negara bisa diturunkan hingga 8%.
Bambang pun berkomitmen pihaknya akan memperluas cakupan pelayanan air bersih dan menjaga kualitas pelayanan yang selama ini dilakukan oleh swasta.
Namun, dirinya enggan menerangkan secara detail terkait hal tersebut karena hal tersebut masih dikaji oleh PD PAM Jaya dan Tim Evaluasi Tata Kelola Air.