Bisnis.com, JAKARTA -- Kerusuhan yang berlangsung pada 21-22 Mei 2019 membuat sejumlah ruas jalan di Jakarta ditutup. Beberapa jalan utama pun baru dibuka kembali pada Selasa (28/5/2019).
Ruas jalan yang ditutup adalah Jalan M.H. Thamrin dan Jalan Wahid Hasyim yang bersinggungan dengan kawasan Sarinah, Jakarta Pusat. Kemudian, polisi juga menutup akses dari dan ke Jalan Majapahit serta Jalan Medan Merdeka Barat.
Penutupan dilakukan bukan tanpa alasan. Polisi menjadikan argumen keamanan sebagai alasan utama penutupan jalan dilakukan.
Pada Selasa (28/5), jalan-jalan tersebut akhirnya dibuka lagi oleh polisi. Beton-beton di ujung jalan yang ditutup beserta kawat besi, pelan-pelan diangkat.
Aparat kepolisian merapikan kembali kawat berduri yang terpasang di kawasan Gedung Bawaslu, Jalan MH Thamrin, Jakarta, Senin (27/5/2019)./ANTARA FOTO-Puspa Perwitasari
Baca Juga
Kapolres Jakarta Pusat Kombes Harry Kurniawan menyebut pembukaan jalan dilakukan sesuai perintah Kapolda Metro Jaya. Dia berharap masyarakat dapat kembali melintasi jalan-jalan yang tadinya ditutup.
Tetapi, bukan tak mungkin penutupan jalan kembali dilakukan jika demonstrasi terjadi lagi. Apalagi, rencananya Gerakan Nasional Kedaulatan Rakyat (GNKR) hendak kembali beraksi dan menggelar doa bersama di kawasan Sarinah pada pekan ini.
Rencana doa bersama itu telah dikonfirmasi Humas Gerakan Pribumi Bersatu Hasri Harahap. Dia menyatakan aksi itu akan berlangsung di depan kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Gerakan Pribumi Bersatu adalah salah satu elemen masyarakat yang menjadi bagian GNKR.
"Nanti kita lihat. Ini kan kalau polisi menangani aksi unjuk rasa itu ada tahapan dan prosesnya tidak harus selalu menutup arus, mengalirkan arus [lalu lintas]," ujar Harry.
Pernyataan itu senada dengan komentar Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Mohamad Iqbal. Dia menerangkan pembukaan dan penutupan ruas jalan bisa dilakukan secara situasional.
"Situasional, tergantung situasi. Bisa kapan saja dibuka," ucapnya di kantor Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Politik, Hukum, dan HAM (Polhukam).
Dampak Penutupan Jalan
Penutupan sejumlah ruas jalan di ibu kota tentu berdampak pada masyarakat yang hidup di DKI Jakarta dan sekitarnya. Dampak yang paling terasa adalah kemacetan yang semakin parah.
Sejak aksi 22 Mei, kondisi lalu lintas di jalan-jalan sekitar ruas yang ditutup di Jakarta terpantau padat di hari kerja. Kepadatan terjadi karena pengendara harus melalui jalan alternatif untuk mencapai tujuan, termasuk kantor mereka masing-masing.
Kemacetan parah di antaranya terjadi pada Senin (27/5). Arus lalu lintas dari arah Gereja Kathedral di Jakarta Pusat tersendat hingga kawasan Harmoni.
Tak hanya itu, kepadatan juga terjadi di Jalan Suryopranoto. Penumpukan kendaraan berlanjut hingga kawasan Museum Taman Prasasti dan Jalan Abdul Muis.
Tentu banyak faktor yang menyebabkan kemacetan parah terjadi di jalan-jalan itu. Namun, tak bisa dipungkiri jika penutupan jalan menjadi salah satu penyebabnya.
"Penutupan jalan itu membawa pengaruh bagi ekonomi. Mungkin terlihat dari kemacetan yang muncul, akibatnya adalah pemborosan BBM. Padahal kita lagi gencar-gencarnya untuk menghemat BBM karena harga minyak dunia terus naik," kata peneliti ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance ( INDEF) Abdul Manap Pulungan kepada Bisnis, Senin (27/5).
Menurutnya, kemacetan akibat penutupan jalan bisa berdampak pada produktivitas pekerja di ibu kota. Dampaknya akan terasa besar bagi pekerja yang kantornya berada di sentra industri seperti Jakarta Utara.
Sejumlah warga melintas di jembatan penyeberangan multiguna (JPM) Tanah Abang, Jakarta Pusat, Kamis (23/5/2019)./ANTARA FOTO-Aditya Pradana Putra
Abdul memandang besar kemungkinan pekerja di kawasan industri yang biasanya harus melewati Jalan M.H. Thamrin atau ruas lain yang terkena penutupan berkurang produktivitasnya. Sebab, waktu mereka banyak terbuang di jalan.
"Tetapi, untuk tenaga kerja di sektor jasa, saya pikir dampak kemacetan tidak begitu signifikan karena pekerjaan dapat dikerjakan di luar kantor," ucapnya.
Meski mengakui dampak akibat kemacetan terhadap produktivitas pekerja, tapi Abdul menilai tak ada pengaruh yang luas dari hal tersebut kepada perekonomian.
Dia yakin kontribusi kemacetan di DKI Jakarta terhadap perekonomian di ibu kota tidak besar. Pasalnya, jalan-jalan yang ditutup sebagian besar ada di kawasan pusat pemerintahan.
"Justru, kita akan terpengaruh kalau Tanah Abang yang bergejolak karena omzet ritel sangat besar saat bulan-bulan konsumsi tinggi," ungkap Abdul.
Hingga kini, belum diketahui berapa hitungan kerugian ekonomi yang timbul akibat aksi 22 Mei dan penutupan sejumlah ruas jalan. Tetapi, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta telah merilis potensi kerugian akibat rusaknya fasilitas umum saat aksi 22 Mei.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyampaikan kerugian yang harus ditanggung Pemprov DKI Jakarta mencapai Rp465 juta. Nominal itu perlu dikeluarkan untuk memperbaiki seluruh fasilitas umum yang rusak, seperti taman.
Massa Aksi 22 Mei merusak fasilitas umum saat bentrokan antara massa aksi dengan petugas kepolisian di kawasan Tanah Abang, Jakarta, Rabu (22/5/2019)./ANTARA FOTO-Galih Pradipta
"Secara biaya angka Rp465 juta itu sebagai nilai rupiah memang besar tapi secara proporsi dari apa yang kita kerjakan enggak terlalu besar," ujarnya.
Anies melanjutkan kerusakan tanaman tidak merugikan Pemprov DKI Jakarta karena sebagian besar taman di Jakarta akan direnovasi dan biayanya pun telah dianggarkan.
Selain itu, APBD DKI Jakarta setiap tahunnya juga telah mengalokasikan anggaran perbaikan sehingga setiap kerusakan bisa langsung diperbaiki.
Adapun fasilitas publik yang rusak akibat kericuhan pada 21-22 Mei adalah taman, penerangan jalan, pembatas jalan, dan rambu lalu lintas yang rusak di wilayah kerusuhan yaitu Jalan M.H. Thamrin, Tanah Abang, Petamburan, dan Slipi.