Bisnis.com, JAKARTA — Badan Anggaran (Banggar) DPRD DKI Jakarta bersama Komisi B Bidang Perekonomian dan Komisi C Bidang Keuangan menyoroti beberapa kelemahan pemerintah provinsi DKI Jakarta dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2018.
Hal ini terungkap dalam laporan Badan Anggaran (Banggar) DPRD DKI Jakarta yang ditandatangani Ketua Banggar DPRD Prasetio Edi Marsudi, dan dibacakan oleh anggota Banggar DPRD Ashraf Ali, dalam Rapat Paripurna di DPRD DKI Jakarta, Senin (22/7/2019).
Dalam laporan tersebut, DPRD banyak menyoroti kinerja pemprov DKI Jakarta untuk mencapai target realisasi pajak dan retribusi, terutama Badan Pajak dan Retribusi Daerah (BPRD) selaku Satuan Kerja Perangkat Daerah terkait.
DPRD menyoroti realisasi Pajak Air Bawah Tanah yang tidak pernah tercapai. Oleh sebab itu, Banggar menyarankan agar pengawasan ditingkatkan, penggantian meteran digencarkan, serta memulai penyesuaian nilai pajak secepatnya.
"Pembatasan dan ditutupnya beberapa titlk Wajib Pajak (WP) air tanah dalam rangka menjaga lingkungan juga dijadikan alasan tidak tercapainya realisasi pajak air tanah. Disarankan agar eksekutif [Pemprov DKI] bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk investigasi indikasi korupsi di sektor pajak air tanah," ujarnya.
Selain itu, terkait Pajak Hiburan, sudah menggunakan sistem online untuk meminimalisir kebocoran pajak. DPRD menyarankan para Wajlb Pajak (WP) Hiburan yang urung membayar agar dikenai disinsentif sebelum mengikuti mekanisme online yang dipersiapkan BPRD.
"Agar dilakukan pendataan secara kontinuitas atas Wajib Pajak (WP) Hiburan baik yang tumbuh maupun yang ditutup, agar dapat diketahui perkembangan dan keberadaannya," ujar Ashraf.
Selanjutnya, rencana kenaikan tarif pajak parkir dan 20 persen menjadi 30 persen agar segera direalisasikan agar mendapatkan realisasi yang lebih besar lewat pengawasan BPRD.
Untuk pajak reklame yang tidak terealisasi, DPRD merekomendasikan direvisinya Peraturan Gubernur No.148 Tahun 2017 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Reklame dalam Rangka Pengendalian Penyelenggaraan Reklame.
Selain itu, pemprov perlu secepatnya menyesuaikan nilai sewa reklame dan kelas jalan titik reklame sebagai dasar pengenaan pajak reklame, dan realisasi kebijakan penyelenggaraan reklame menggunakan LED.
Menurut DPRD, Pajak Penerangan Jalan (PPJ) tidak pernah terealisasi, sebab pihak PLN tidak memberikan data secara transparan tentang Wajlb Pajak Penerangan Jalan dan jumlah daya Iistrik yang terpakai setiap bulannya dl DKI Jakarta.
Terakhir, DPRD mengimbau keluarnya regulasi tentang pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) atas Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB), untuk mengatasi banyaknya properti yang berpindah tangan karena masih dalam PPJB sehingga BPHTB tidak terpungut.
Sebelumnya, Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah (BPRD) DKI Jakarta Faisal Syafruddin kepada Bisnis mengaku masih optimis bahwa tahun ini realisasi pajak bisa melampaui target. Salah satu indikatornya, yakni realisasi pajak terkini, tepatnya pada semester 1/2019 tercatat lebih banyak dari periode sebelumnya atau semester 1/2018.
Demi menggenjot realisasi pajak, BPRD pun telah melakukan berbagai upaya. Di antaranya dengan memberikan surat paksa penagihan aktif kepada para wajib pajak yang menunggak pajak. Penagihan dengan surat paksa tersebut akan dilakukan sekitar tiga kali pada objek Pajak Air Tanah (PAT), Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan Perkotaan (PBB-P2), serta Pajak Restoran.
Selain itu, BPRD pun bekerja sama dengan polisi, Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Jasa Raharja, dan Bank DKI untuk menjemput bola menagih pajak kendaraan operasional, kendaraan mewah, di samping kendaraan pribadi warga Jakarta.
Berikut data terbaru dari BPRD, terkait rincian realisasi penerimaan pajak DKI Jakarta yang telah tercapai per 10 Juli 2019, dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya, beserta capaian di akhir 2018:
Jenis Pajak | 2019 | 2018 | |||
10 Juli | Target | 10 Juli | Target | Realisasi | |
Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) | Rp4,37 triliun | Rp8,8 triliun | Rp3,87 triliun | Rp8,35 triliun | Rp8,55 triliun |
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) | Rp2,67 triliun | Rp5,4 triliun | Rp2,54 triliun | Rp5,1 triliun | Rp5,35 triliun |
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) | Rp624 miliar | Rp1,27 triliun | Rp597 miliar | Rp1,2 triliun | Rp1,24 triliun |
Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan Perkotaan (PBBP2) | Rp1,22 triliun | Rp9,65 triliun | Rp924 miliar | Rp8,5 triliun | 8,89 triliun |
Pajak Reklame | Rp513 miliar | Rp1,05 triliun | Rp420 miliar | Rp1,15 triliun | 1,02 triliun |
Pajak Air Tanah (PAT) | Rp48 miliar | Rp145 miliar | Rp43 miliar | Rp145 miliar | Rp106 miliar |
Pajak Hotel | Rp791 miliar | Rp1,8 triliun | Rp771 miliar | Rp1,7 triliun | Rp1,74 triliun |
Pajak Restoran | Rp1,73 triliun | Rp3,55 triliun | Rp1,35 triliun | Rp3,15 triliun | Rp3,15 triliun |
Pajak Hiburan | Rp382 miliar | Rp900 miliar | Rp379 miliar | Rp900 miliar | Rp834 miliar |
Pajak Penerangan Jalan (PPJ) | Rp401 miliar | Rp810 miliar | Rp382 miliar | Rp825 miliar | Rp787 miliar |
Pajak Parkir | Rp273 miliar | Rp750 miliar | Rp248 miliar | Rp550 miliar | Rp513 miliar |
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) | Rp1,85 triliun | Rp9,5 triliun | Rp1,5 triliun | Rp6 triliun | Rp4,72 triliun |
Pajak Rokok | Rp220 miliar | Rp550 miliar | Rp197 miliar | Rp555 miliar | Rp632 miliar |
Retribusi dan SILPA
Selain pajak, DPRD juga menyoroti beberapa kekurangan dari pemprov DKI Jakarta terkait tidak pernah terealisasinya target retribusi dan besarnya angka Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Tahun Berkenaan (Silpa).
Oleh sebab itu, DPRD mendorong BPRD dan SKPD terkait agar melakukan pengawasan sistematis, bukan hanya bersifat koordinatif semata.
"Juga perlunya penyesualan tarif retribusi yang bahan material dalam pelayanannya telah naik nilai harganya. Fasilitas yang produktif juga harus disesuaikan tarifnya untuk mendidik masyarakat agar tidak mendapat bantuan kemudahan terus-menerus," tambah Ashraf.
Terakhir, terkait Silpa, DPRD menilai ada upaya pemprov menempatkan Silpa di atas 5 triliun agar nilai APBD bisa naik. DPRD pun berharap modus ini tidak diulangi di periode mendatang.
"Dengan SILPA yang besar itu masyarakat dirugikan karena pembangunan public service tidak dapat direalisasikan maksimal, padahal masyarakat membayar pajak setiap saat," ungkap Ashraf.
"Eksekutif harus transparan, berapa nilai Silpa, efisiensi dan berapa nilai Silpa dari gagalnya pekerjaan atau proyek. Karena sangat penting agar masyarakat juga mengetahui, sejauh mana kinerja eksekutif melayani masyarakat dalam bentuk pembangunan flsik," tutupnya.