Bisnis.com, JAKARTA — Komoditas emas perhiasan tercatat menjadi penyumbang inflasi terbesar hingga 3,21 persen (m-t-m), ketika DKI Jakarta mengalami deflasi sebesar 0,04 persen (m-t-m) pada September 2019.
Bank Indonesia Perwakilan DKI Jakarta memperkirakan harga emas masih mengalami tren peningkatan pada periode pencatatan seiring meningkatnya harga emas global, yang dipengaruhi oleh ketidakpastian ekonomi, seiring memanasnya perang dagang .
Ekonom sekaligus Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah sepakat. Namun, dia menilai kondisi naiknya harga emas ini wajar, hanya saja perlu diseimbangkan lewat kondusivitas perekonomian.
"Di tengah kondisi yang disebut-sebut menjelang krisis atau resesi ini, walaupun kondisi kita masih baik, masih jauh dari resesi, tapi kondisi perlambatan ekonomi global dan domestik membuat sebagian ancang-ancang menanamkan investasi. Emas jadi pilihan," jelasnya kepada Bisnis, Rabu (2/10/2019).
Menurutnya, emas menjadi pilihan paling rasional di tengah kondisi semacam ini, sebab memenuhi tiga aspek. Yakni mudah liquid atau mudah dicairkan. Kemudian aman di kala darurat. Terakhir, yang pasti memberi keuntungan.
"Nah, emas memenuhi ketiga aspek itu. Sudah terbukti di masa resesi lalu, emas masih memberi keuntungan daripada instrumen investasi lainnya," tambahnya.
Oleh sebab itu, menurut Piter emas masih akan memiliki kecenderungan sebagai penyumbang inflasi hingga akhir tahun 2019. Namun, karena nilainya masih terbilang wajar, Piter masih optimistis sasaran inflasi nasional maupun regional sebesar 3,5 persen ± 1 persen bisa tercapai.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel