Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kolaborasi Jakarta dan Daerah Penyangga Masih Belum Optimal Soal Banjir

Kolaborasi antara pemerintah pusat, serta Provinsi DKI Jakarta dengan daerah penyangganya, masih sampai taraf angka-angka, lewat dana hibah atau bantuan proyek semata.
Warga berupaya mengeluarkan sampah yang masih menyumbat saluran air di kawasan Karet Pasar Baru Timur, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2020)./Bisnis-Rayful Mudassir
Warga berupaya mengeluarkan sampah yang masih menyumbat saluran air di kawasan Karet Pasar Baru Timur, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2020)./Bisnis-Rayful Mudassir

Bisnis.com, JAKARTA — Dalam konteks penanganan banjir, kolaborasi antara pemerintah pusat, serta Provinsi DKI Jakarta dengan daerah penyangganya, masih sampai taraf angka-angka, lewat dana hibah atau bantuan proyek semata.

Wali Kota Tangerang Arief Rachadiono Wismansyah dalam diskusi "Sinergitas Stakeholder dalam Pengelolaan Banjir di Kawasan Jabodetabek", mengungkap bahwa perlu ada penyatuan ide, agar koordinasi antarlembaga ini semakin efektif.

"Sinergi itu bahasa yang sangat indah diucapkan, tapi sulit untuk diaplikasikan," ujarnya dalam acara yang diselenggarakan yang diselenggarakan Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia (UI) di Kampus UI Salemba, Senen, Jakarta Pusat, Rabu (15/1/2020).

Arief menceritakan pengalamannya ketika banjir melanda Jabodetabek pada awal 2020. Proyek Trash Rike atau penyaring sampah DKI Jakarta di perbatasan, nyaris membuat kotanya kebanjiran.

"Air dari Kota Tangerang tidak bisa ke [sungai] Mookervaart secara maksimal, ternyata ada Trash Rike nya DKI di perbatasaan di Kota Tangerang yang kondisinya pas kita ke lapangan, mati lampu dan tidak ada petugas sama sekali," ungkapnya.

Arief memahami bahwa daerah penyangga ibu kota tak bisa mengandalkan hibah dari pemerintah pusat atau Pemprov DKI Jakarta untuk mengatasi banjir. Padahal, hasil evaluasi internal Pemkot Tangerang mengungkap Kota Benteng ini perlu membuat pintu air supaya air dari Cisadane tidak meluap ke Kali Sabi yang menyebabkan banjir di Periuk Jaya dan Pondok Arum lagi.

"Nah, ini yang kita sampaikan ke Pak Bambang [Kepala Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Ciliwung-Cisadane] secara teknisnya. Mudah-mudahan [bisa dipertimbangkan]. Karena kita paham beliau harus melihat seluruh wilayah Jabodetabek dan semua minta diprioritaskan," jelasnya.

Oleh sebab itu, Arief menjelaskan bahwa prioritasnya kini ada pada langkah internal Pemkot membuat sumur injeksi lewat gerakan masif.

"Jadi kondisi sumur injeksi [dimulai] tuh karena sebelumnya kita mau bikin tandon, tapu butuh pembebasan [lahan] yang biayanya nggak sedikit. Kalau sumur injeksi ini ternyata signifikan dengan biaya yang lebih murah," ungkapnya.

Pihaknya telah membuat pilot project sumur resapan di sekolah-sekolah dan beberapa ruas jalan di Kota Tangerang. Arief meyakinkan bahwa genangan banjir di daerah pilot project lebih cepat surut.

"Proyek sumur resapan ini kita sedang dorong. Karena dananya dari Pemda tapi yang kerja nanti kelompok masyarakat. Ada bagian kelompok masyarakat yang kita latih mereka di kecamatan, kelurahan, untuk sama-sama karena kita inginnya masif. Ada 4.000 titik yang kita ingin bangun," ujarnya.

Arief berharap gerakan ini bukan hanya ada di kotanya, namun melibatkan masyarakat, pemerintah, swasta, dan stakeholder terkait lainnya. Sebagai gerakan massal untuk mencegah air limpasan kala musim penghujan di Jabodetabek.

Wali Kota Depok Muhammad Idris Abdul Somad mengungkap hal serupa. Menurutnya, seluruh daerah penyangga Ibu Kota bukan hanya membutuhkan dana mengatasi banjir, namun solusi komprehensif dengan duduk bersama.

Terutama, soal keberadaan embung/situ di daerah penyangga, pengadaan ruang terbuka hijau (RTH), dan pelanggaran sempadan sungai yang harus diawasi bersama. Menurutnya, ketiga permasalahan ini intinya adalah pengadaan lahan yang harus langsung diatasi negara, bukan hanya Pemda.

"Ya bayangkan aja, kalau permasalahan revitalisasi Danau UI saja kemarin, kita diberi dana sekitar Rp 50 miliar dari DKI itu enggak ada apa-apanya, hanya cuma ngeruk lumpur dan sampah dari danau/setu itu. Nah sementara kan enggak cukup itu sehingga untuk perluasan juga perlu pengadaan lahan. Luas setu sekarang sudah banyak berkurang," jelasnya.

"Misalnya Rawa Besar yang sebagai etalase Jawa Barat ataupun danau ini juga penampungan air untuk ngalir air ke Jakarta. Rawa Besar itu dari awalnya ada sekitar 17 hektare, sekarang tinggal 11 hektare luasannya. Ini kan terjadi pengurangan, bagaimana dulu ceritanya. Dimiliki oleh warga, bahkan tanah itu bersertifikat. Ini kan aneh. Bersertifikat tanah negara. Berarti ada oknum-oknum yang harus ditindak oleh Kementerian ATR," tambahnya.

Idris berharap penyelesaian persoalan ini perlu dikaji dari hulu hingga hilir, bersama-sama, kolaboratif.

Negara perlu menguasai lagi lahan-lahan yang sebelumnya merupakan aset negara tersebut, demi kepentingan bersama yang lebih besar, "Jangan sampai nanti Ibu Kota pergi, ini warganya masih kayak begini."

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Aziz Rahardyan
Editor : Miftahul Ulum

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper