Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Banjir Jakarta Salah Siapa? Salah Jokowi atau Anies Baswedan?

Akan selalu ada korban yang harus siap "diikat" di kursi atau barangkali meja persembahan. Mereka harus siap menjadi pihak yang paling disalahkan atas terjadinya banjir di Jakarta.
Ilustrasi - Kapolsek Kembangan Jakarta Barat Kompol Khoiri menarik gerobak yang dinaiki Aisyah (65) untuk menerjang banjir di Jalan Puri Kembangan, Jakarta Barat, Sabtu (20/2/2021)./Antara
Ilustrasi - Kapolsek Kembangan Jakarta Barat Kompol Khoiri menarik gerobak yang dinaiki Aisyah (65) untuk menerjang banjir di Jalan Puri Kembangan, Jakarta Barat, Sabtu (20/2/2021)./Antara

Bisnis.com, JAKARTA - Banjir yang sering berulang di Jakarta kerap menimbulkan korban yang tidak sedikit.

Selain korban warga yang harus mengungsi karena rumahnya terendam serta mengalami dampak lainnya, banjir di Jakarta juga kerap menjadi komoditas politik.

Oleh sebab itu, akan selalu ada korban yang harus siap "diikat" di kursi atau barangkali meja persembahan. Mereka harus siap menjadi pihak yang paling disalahkan atas terjadinya banjir di Jakarta.

Tak aneh jika Gubernur DKI bahkan Presiden bisa menjadi korban banjir Jakarta. Saat ini, Jokowi sebagai Presiden dan Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI bisa saja menjadi korban serangan politik.

Lantas, sebetulnya, siapa yang salah atas terjadinya banjir di Jakarta.

Jokowi menjadi objek hujatan karena pernah menyampaikan keyakinan bahwa banjir di Jakarta lebih mudah ditangani jika dirinya menjadi Presiden. 

Hal itu memang masuk secara logika, sebab penanganan banjir Jakarta harus ditangani lintaspementahan. Mulai dari pemerintah pusat sampai pemerintah daerah.

Namun, logika linear semacam itu tak selamanya berjalan mulus dalam praktiknya. Sejak di zaman Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama memimpin Jakarta, setelah Jokowi jadi Presiden, penanganan banjir Jakarta dan pembicaraan dengan pemerintah daerah di sepanjang Sungai Ciliwung tak otomatis berjalan mulus dan rampung dalam satu pertemuan.

Hal itu mencerminkan bahwa banjir Jakarta tak hanya harus ditangani Pemprov DKI, melainkan butuh kerja sama dengan pemerintah daerah lain di sepanjang aliran sungai Ciliwung. Mulai Pemkot Bogor, Kabupaten Bogor, serta Depok.

Lantas, jika sampai saat ini Presiden belum mampu mengatasi banjir di Jakarta, siapa yang harus disalahkan? Jokowi kah?

Di sisi lain, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan juga harus siap menjadi sasaran serangan terkait banjir Jakarta.

Terlebih kemunculan istilah naturalisasi yang ditangkap publik sebagai "perlawanan" atas konsep normalisasi sungai yang dijalankan Pemerintah Pusat melalui Kementerian Pekerja Umum dalam menangani banjir Jakarta juga belum menunjukkan hasil.

Lantas, siapa yang salah? Anies Baswedan kah?

Politik adalah permainan persepsi, soal siapa yang harus disalahkan juga tak lepas dari siapa yang mempersepsi apa dengan tujuan bagaimana serta harus mengorbankan pihak yang mana.

Rezim yang sedang berkuasa, yang sedang berperan sebagai dalam istilah the many ruled by a few, harus siap menghadapi serangan. Terlebih, mungkin ini bukan hanya terjadi di Indonesia, elite penguasa kerap menjadi musuh bersama dari orang-orang yang sedang tidak berkuasa.  

Sosiologi Banjir

Jika menelusuri sejarah banjir di DKI Jakarta, kita bisa menelusuri apa yang terjadi di masa kolonial hingga masa pemerintahan Republik Indonesia.

Segel Ginting dan William M Putuhena, dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air seperti tertulis di Jurnal Teknik Hidraulik, Vol.7 No.2, Desember 2016 memaparkan situasi yang terjadi di masa lalu terkait penanganan banjir di Jakarta.

Disebutkan keduanya bahwa pengendalian Banjir di Jakarta sudah dilakukan sejak zaman kolonial. Banjir yang terjadi di Batavia pada saat itu telah menyebabkan kota tersebut lumpuh.

Pada awal perencanaan kota ini, dimaksudkan untuk membangun kota menyerupai kota-kota yang ada di Belanda, sehingga banyak dibangun kanal. Sampai dengan saat ini, banyak infrastruktur pengendalian banjir yang telah dibangun.

Era Kolonialisme

Di era kolonialisme pengendalian banjir tahun 1900-an telah dimulai secara sporadis. Saat itu disebutkan tidak ada perencanaan yang komprehensif untuk penyelesaian banjir secara menyeluruh.

Pengendalian banjir dilakukan dengan mengalihkan aliran Sungai Ciliwung sehingga mengelilingi kota lama Batavia, pembuatan Kanal Gunung Sari dan normalisasi Sungai Krukut untuk bagian tengah Kota Batavia.

Di bagian barat Kota Batavia, Pemerintah Belanda membangun tanggul di beberapa tempat di Sungai Angke dan Pesanggrahan, serta di bagian timur dibuat Kanal Sentiong, yang menampung aliran Sungai Sunter.

Pengendalian banjir dengan perencanaan yang komprehensif baru dimulai pada era Herman van Breen.

Van Breen menangani banjir di Kota Batavia dengan mengalihkan aliran Sungai Ciliwung serta sungai-sungai kecil yaitu Sungai Cideng dan Sungai Grogol melalui sebuah Bandjir Kanaal, yang dulunya disebut sebagai Krokot Bandjir Kanaal dan kini dikenal sebagai bagian dari Banjir Kanal Barat (BKB).

Rencana pengendalian banjir yang dilakukan van Breen (1923) meliputi beberapa alternatif seperti berikut ini:

Trase I: Dari Utara Cawang ke Barat melalui daerah Senayan kemudian ke utara melalui Pesing bergabung ke Sungai Angke.

Rencana ini secara teknis paling sempurna, akan tetapi membutuhkan biaya paling mahal. Trase ini bila ditinjau sekarang adalah kurang lebih Jalan Gatot Subroto.

Trase II: Dari Manggarai ke Barat di sebelah Selatan Bendung Karet, kemudian membujur ke utara melalui Pesing bergabung ke Sungai Angke.

Rencana ini secara teknis kurang sempurna bila dibandingkan dengan Trase I, namun biayanya jauh lebih murah.

Trase III: Merupakan variasi sementara dari Trase II. Terusan di Bendung Karet digabung dengan Terusan Banjir Krukut ke arah utara yang telah ada sejak pertengahan abad ke 19.

Sungai Krukut sendiri dialihkan melalui Tanah Abang dan Petojo langsung ke utara untuk bergabung dengan Sungai Cideng. Trase ini yang sementara dipilih untuk selanjutnya ditingkatkan.

Trase III terpilih dalam pengendalian banjir di Batavia, membuat sistem tata air di Batavia menjadi berubah.

Trase III sekarang ini disebut sebagai Banjir Kanal Barat (BKB). BKB adalah kanal banjir yang hulunya berada di Sungai Ciliwung, kemudian mengalir ke arah barat memotong aliran Sungai Cideng, Sungai Grogol dan di hilirnya bergabung dengan Sungai Angke sebelum masuk ke laut.

Desain awal dari sistem pengaliran yang dibuat adalah debit maksimum 300 m3/s dialirkan ke BKB, sedangkan debit yang masuk Ciliwung lama maksimum sebesar 80 m3/s.

Zaman Kemerdekaan

Penanganan banjir di awal masa kemerdekaan masih berpedoman pada konsep dan strategi yang disusun oleh Van Breen. Pada masa transisi kemerdekaan, Blommestein (1949) merencanakan pengendalian banjir di Jakarta dengan membuat tanggul laut serta pembuatan kanal yang menghubungkan antara Sungai Cisadane-Ciliwung dan berakhir di Sungai Cibeet dan ditampung dalam rencana Waduk Pangkalan dengan kapasitas 800 juta m3.

Kanal yang direncanakan berada pada elevasi +100 m atau dapat diturunkan pada elevasi + 75 m.

Pada tahun 1965 Pemerintah Pusat membentuk Komando Proyek Pencegahan Banjir Jakarta, disingkat Kopro Banjir, langsung di bawah komando Presiden.

Kopro Banjir pada saat itu bertugas sebagai badan yang khusus menangani masalah banjir di Jakarta. Hasil kerja Kopro Banjir dalam rangka pengendalian banjir di Jakarta adalah:

  1. Pembangunan Waduk: Setia Budi, Waduk Pluit, Waduk Tomang, Waduk Grogol serta merehabilitasi sejumlah sungai di sekitarnya
  2. Pembangunan Polder: Polder Melati, Polder Pluit, Polder Grogol, Polder Setia Budi Barat, dan Polder Setia Budi Timur
  3. Pembuatan Sodetan Sungai: Sungai Grogol, Sungai Pesanggrahan, dan Gorong-gorong Jalan Sudirman.

Pada 1973 dalam pekerjaan Master Plan of Drainage and Flood Control of Jakarta disusun Master Plan Pengendalian Banjir yang kemudian dikenal sebagai Master Plan 1973.

Adapun, prioritas pengendalian banjir yang dilakukan yaitu dengan cara: 

  1. Memperpanjang saluran kolektor yang sudah ada ke arah barat, yang kini dikenal sebagai Cengkareng Drain
  2. Membangun saluran kolektor di bagian timur yang kemudian dikenal sebagai Cakung Drain, untuk menampung aliran air dari Sungai Sunter, Buaran, Cakung, dan Jati Kramat.

Selain prioritas utama yang dibangun, direncanakan juga untuk merehabilitasi saluran terbuka yang telah ada, serta melaksanakan improvisasi sistem drainase dari Jakarta Pusat dan Jakarta Barat yang terletak di hilir Saluran Banjir Kanal Barat.

Selain itu juga direncanakan membangun saluran drainase Sunter Barat dan Timur untuk mitigasi banjir di Jakarta Timur dan membangun pompa pembuang dari polder di Jakarta Barat dan Timur.

Rencana lainnya adalah mengisolasi tempat buangan sampah, memelihara saluran-saluran drainase dengan melakukan pembilasan.

Selain itu, master plan pada 1973 sudah direncanakan pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT).

BKT direncanakan untuk menampung aliran Sungai Cipinang, Sungai Sunter, Sungai Buaran, Sungai Jati Kramat, dan Sungai Cakung.

Berdasar rencana van Breen, Nedeco (1973) melakukan evaluasi dan membuat kembali rencana tata ruang induk di Jakarta dalam mengatasi permasalah banjir.

Masterplan ini meliputi Banjir Kanal Barat mengendalikan daerah seluas 7.500 ha, Banjir Kanal Timur mengendalikan daerah seluas 16.500 ha, dan pengembangan polder-polder pada zona-zona

Tak hanya itu, pengendalian banjir di Jakarta selalu mendapatkan perhatian secara nasional. 

Beberapa studi yang terkait dengan penanganan banjir di Jakarta telah dilakukan. Pekerjaan Study on Urban Drainage and Waste Water Disposal in Jakarta yang dilakukan oleh JICA pada tahun 1991.

Studi ini merekomendasikan beberapa hal penting, atara lain:

  1. Menyiapkan studi penurunan tanah dan pengisian kembali air tanah.
  2. Memperbaiki sistem jaringan hidrologi dengan menambah stasiun hujan otomatis.
  3. enguatan operasi dan pemeliharaan, dengan penekanan pada pengerukan berkala, pembuangan sampah serta rehabilitasi dan perbaikan operasi fasilitas pengendalian banjir.

Sementara itu, ditekankan pula peningkatan kesadaran masyarakat melalui sosialisasi.

Selain itu, banyak upaya yang telah dilakukan, termasuk membagi menjadi tiga sub sistem pengendalian banjir yaitu Sistem Pengendalian Wilayah Barat, Pengendalian Wilayah Tengah dan Pengendalian Banjir Wilayah Timur.

Satu hal penting yang tidak bisa dilupakan, pengendalian banjir di Jakarta tidak terlepas dari strategi pengendalian banjir mulai dari hulu sampai ke hilir.

Namun seperti dikatakan  Segel Ginting dan William M Putuhena, banjir besar pada 2002 menjadi pertanda bahwa banjir di Jakarta belum dapat ditangani secara teknis.

Dengan meminjam pernyataan di atas, kita pun bisa membuat kesimpulan, mengapa Jakarta masih mengalami banjir hingga saat ini? 

Siapa yang salah? Jokowi atau Anies Baswedan?

Terlalu sederhana jika menyalahkan seseorang atas kasus menahun yang bahkan terjadi sejak era kolonial.

Atau, mungkin pikiran simpel dan sedikit bodoh akan mengatakan ini: kesalahan ada di era kolonial, yang membuat aliran air dari Bogor ke Jakarta.

Bagaimana, Anda punya pendapat?

(catatan: tulisan ini merupakan pendapat pribadi, bukan pandangan istitusi Bisnis.com) 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Saeno
Editor : Saeno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper