Bisnis.com, JAKARTA - Kelayakan proyek monorel dinilai sangat tergantung pada pengintegrasiannya dengan moda-moda transportasi lainnya, seperti mass rapid transit (MRT), Transjakarta, angkutan penghubung terintegrasi busway (APTB), atau kereta api.
Pengamat Transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Ellen Tangkudung mengatakan pengintegrasian ini tidak hanya sebatas pada manajemen trayek saja, tetapi juga sampai ke masalah tiket.
Dia menilai tanpa adanya integrasi yang baik, berbagai moda transportasi massal ini justru malah merepotkan publik penggunanya ketika harus berganti moda transportasi.
“Kalau tidak bisa menyaingi moda kendaraan pribadi dalam segala hal, mulai dari tarif sampai kehandalannya, orang akan sulit pindah menggunakan monorel,” katanya kepada Bisnis, Kamis (20/2/2014).
Apalagi, lanjutnya, rute monorel, terutama untuk jalur green line, cukup berisiko memiliki tingkat jumlah penumpang (ridership) yang rendah. Jalur green line monorel memiliki rute yang melingkar (circulated) dari Palmerah ke Kuningan melalui Sudirman.
Dalam pandangannya, jalur demikian hanya melintasi pusat kota Jakarta saja di mana tingkat rutinitas penggunaannya cenderung fluktuatif. “Jalur ini bukan jalur [mobilitas] utama, jadi takutnya cuma buat pilihan keliling sekitar Jakarta saja,” katanya.
Menurutnya, jalur utama mobilitas masyarakat ibu kota adalah jalur yang menghubungkan kawasan penyangga, seperti Bekasi, Bogor, Depok, atau Tangerang atau kawasan pinggiran DKI dengan kawasan pusat kota Jakarta. Jalur tersebut dipandangnya memiliki tingkat ridership yang tinggi.