Bisnis.com, JAKARTA--Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi menolak wacana legalisasi becak seiring diajukannya revisi Peraturan Daerah (Perda) 8/2007 tentang Ketertiban Umum (Tibum).
“Enggak bakalan ada Becak di Jakarta. Enggak bakal terealisasi pokoknya,” katanya, Selasa (9/10/2018).
Dia menuturkan aturan larangan becak yang tertuang dalam Perda Tibum sudah tepat.
Menurutnya, posisi DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara sudah seharusnya menyediakan moda transportasi yang modern, canggih, nyaman, aman, serta lebih manusiawi.
Dia mencontohkan moda transportasi massal seperti bus rapid transit (BRT) Transjakarta yang sudah dikembangkan hingga 13 koridor, mass rapid transit (MRT), dan light rail transit (LRT).
Sudah saatnya Jakarta memiliki transportasi angkutan orang yang modern, canggih seperti ibukota negara maju baik di kawasan regional maupun dunia.
Baca Juga
"Gubernur [Anies Baswedan] jangan tiba-tiba minta legalisasi becak sebagai angkutan umun hanya untuk memenuhi janji kampanye. Padahal becak jelas-jelas tidak sesuai dengan perkembangan Jakarta sebagai kota megapolitan," ujar politisi PDIP tersebut.
Pras, sapaan akrabnya, memprediksi apabila pemerintah benar-benar memperbolehkan keberadaan becak di Jakarta dampaknya menimbulkan penurunan kualitas hidup warga Jakarta.
Bukan itu saja, dampak terburuk akibat hal itu yakni berpotensi terjadi kekacauan pengaturan. Walapun becak hanya beroperasi di kawasan tertentu.
"Nanti pengaturan dan pengawasannya bagaimana? Ketika becak yang direncanakan seratus, tiba-tiba [yang datang] seribu. Kita tahu sendiri bahwa yang dari daerah-daerah tukang becak sudah mau datang ke Jakarta," ucapnya.
Berdasarkan data Dinas Perhubungan DKI, saat ini populasi becak yang sudah beroperasi tercatat sebanyak 1.685 unit. Dengan rincian, ada 185 unit di wilayah Jakarta Barat, yaitu Jelambar dan Bandengan.
Kemudian, sebanyak 1.460 unit becak tersebar di kawasan Jakarta Utara, yakni Pademangan, Teluk Gong, Muara Baru, Tanah Pasir, Koja, Semper Barat, Tanjung Priok, Kalibaru dan Muara Angke.
Selanjutnya, sedikitnya ada 40 unit becak yang beroperasi di wilayah Jakarta Timur. Antara lain di Jatinegara, Cakung, Pulogadung dan Matraman.
Rencananya, masing-masing becak dipasangi stiker sebagai tanda mereka telah didata dan boleh beroperasi. Namun, ribuan becak tersebut tetap dilarang beroperasi di jalan protokol, melainkan hanya di kawasan perkampungan.
Kepala Biro Hukum DKI Jakarta Yayan Yuhanah mengatakan telah mengajukan revisi Peraturan Daerah No 8/2007 tentang Ketertiban Umum kepada Badan Legislasi DKI Jakarta. Salah satu isi beleid tersebut melarang operasional becak di Ibu Kota.
"Suratnya sudah masuk ke dewan. Tanggalnya lupa, sekitar bulan lalu," ujarnya ketika dikonfirmasi, Selasa (9/10/2018).
Meski demikian, Yayan enggan menjelaskan pasal mana saja yang diminta direvisi oleh eksekutif. Termasuk di antaranya penghapusan aturan soal larangan becak di Jakarta.
Menurutnya, hasil revisi tergantung dari pembahasan yang dilakukan antara Pemprov DKI dan Badan Perencana Peraturan Daerah (Bampemperda).
"Ada beberapa materi, tapi nantilah kita lihat perkembangannya di Dewan yang mana yang bisa diakomodir untuk masuk. Enggak ada ngomong larangan [becak], enggak ada ngomong ini. Diperbaiki aja redaksinya. Tetap aja ada yang dilarang, ada yang diperbaiki," jelasnya.
Seperti diketahui, dalam Perda Tibum, pasal 29 ayat (1) menyatakan setiap orang atau badan dilarang; melakukan usaha pembuatan, perakitan, penjualan dan memasukkan becak atau barang yang difungsikan sebagai becak dan/atau sejenisnya; mengoperasikan dan menyimpan becak dan/atau sejenisnya; mengusahakan kendaraan bermotor/tidak bermotor sebagai sarana angkutan umum yang tidak termasuk dalam pola angkutan umum yang ditetapkan.
Sementara, pada pasal 62 ayat (3) disebutkan bahwa setiap orang atau badan yang membuat, merakit, menjual dan memasukkan becak atau barang yang difungsikan sebagai becak dan sejenisnya dan melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf a dikenakan ancaman pidana kurungan paling singkat 20 hari dan paling lama 90 hari atau denda paling sedikit Rp5 juta dan paling banyak Rp30 juta.