Bisnis.com, JAKARTA–Potensi kerugian yang ditanggung oleh Pemprov DKI Jakarta melalui kontrak kerja sama pengelolaan air antara PD PAM Jaya, PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja), dan PT Aetra Air Jakarta (Aetra) mencapai Rp1,77 triliun.
Berdasarkan data yang diperoleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) atas pendapatan Aetra per tahun 2016, Aetra mendapatkan keuntungan sebesar Rp1,09 miliar per hari dari air yang dijual dan laba usaha sebesar Rp400,3 miliar per tahunnya.
Dari angka tersebut maka seharusnya Pemprov DKI Jakarta melalui PD PAM Jaya mampu menyediakan air bersih kepada satu juta penduduk DKI Jakarta secara gratis.
Apabila air sepenuhnya dikelola oleh PD PAM Jaya, seharusnya PD PAM Jaya mampu menjual air bersih kepada masyarakat dengan harga yang jauh lebih rendah dibandingkan harga yang dikenakan sekarang.
Sebagai perbandingan, dengan harga air baku sebesar Rp133/m3 PDAM Surya Sembada Surabaya mampu menjual air bersih dengan harga Rp2.860/m3.
Sedangkan di DKI Jakarta dimana PD PAM Jaya terikat kontrak dengan dua mitranya, PD PAM Jaya menjual air bersih dengan harga Rp7.800/m3 dengan harga air baku sebesar Rp202/m3.
Baca Juga
Dengan harga jual air bersih sebesar Rp2.860/m3, PDAM Surya Sembada Surabaya mampu memperoleh keuntungan sebesar Rp280 miliar di tahun 2017.
Melalui keuntungan tersebuy PDAM Surya Sembada Surabaya mampu melunasi hutangnya serta berinvestasi tanpa bantuan APBD dan menyumbangkan dividen sebesar Rp100 miliar kepada Pemkot Surabaya.
Di lain pihak, PD PAM Jaya dengan harga jual air bersih yang jauh lebih tinggi harus berbagi keuntungan dengan Palyja dan Aetra.
Apabila PD PAM Jaya tidak mampu memberikan keuntungan sesuai dengan kontrak yang disepakati antara ketiga pihak sejak tahun 1997 tersebut maka Pemprov DKI Jakarta harus mengorbankan sebagian APBD-nya demi memberikan keuntungan kepada dua mitra swasta PD PAM Jaya.
Oleh karena itu, menurut pengacara publik LBH Jakarta Tommy Albert pengambilalihan pengelolaan air minum dari pihak swasta kepada Pemprov DKI Jakarta perlu disegerakan.
"Ketika dikembalikan ke negara maka publik memiliki kontrol atas pengelolaan air baik melalui Gubernur DKI Jakarta, DPRD DKI Jakarta, dan Ombudsman. Hingga saat ini negara dan bahkan PD PAM Jaya tidak memiliki wewenang untuk mengetahui pengelolaan air oleh swasta tersebut," tutur Tommy, Minggu (10/2/2019).
Untuk diketahui, Pemprov DKI Jakarta telah membentuk Tim Evaluasi Tata Kelola Air Minum melalui Kepgub No. 1149/2018 yang ditugaskan untuk memberikan rekomendasi kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan terkait pengambilalihan pengelolaan air minum. Masa tugas tim tersebut pun juga telah habis per 10 Februari 2019.
Namun, hingga saat ini Pemprov DKI Jakarta masih tidak transparan terkait rekomendasi serta opsi kebijakan yang akan dilakukan dalam rangka pengambilalihan pengelolaan air minum.
Transparansi tersebut diperlukan agar publik memiliki ruang untuk berpartisipasi dalam pengambilalihan pengelolaan air minum tersebut.
Di lain pihak, Dirut PD PAM Jaya Priyatno Bambang Hernowo mengatakan pihaknya tetap mengusahakan perbaikan pelayanan air bersih di DKI Jakarta terlepas dari dikabulkannya peninjauan kembali (PK) oleh Kemenkeu atas Putusan MA No. 31K/Pdt/2017 tentang Penghentian Kebijakan Swastanisasi Air Minum di Provinsi DKI Jakarta pada 30 November 2018 oleh MA.
"Kita mereview kerja sama yang ada saat ini. Pada prinsipnya kita bisa mengakselerasi pelayanan air bersih di Jakarta dan kita sedang intens untuk berdiskusi tentang bagaimana pola kerja sama untuk memastikan bagaimana kita bisa melakukan hal itu," tutur Bambang.
Adapun kontrak antara PD PAM Jaya dengan Palyja dan Aetra masih tersisa hingga tahun 2023 mendatang.
Ketua Divisi Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan dengan dikabulkannya PK tersebut, Pemprov DKI Jakarta masih memiliki wewenang untuk mengambilalih pengelolaan air minum dari Palyja dan Aetra.
Hal ini dilandasi oleh putusan MK No. 85/PUU-XI/2013 yang melarang pengelolaan air oleh swasta dan harus dikelola oleh pemerintah baik melalui BUMN maupun BUMD.
"Banyak kewenangan yang dimiliki oleh Pemprov DKI Jakarta untuk menghentikan swastanisasi air jika punya political will yang baik," tutur Isnur.